Tak Bertenaga, Harga Tembaga Melemah di Awal Pekan

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
09 May 2022 12:45
Indonesia lewat PT Indonesia Alumunium (Inalum) menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, melakukan kunjungan kerja ke tambang Freeport di Timika, Papua pada 2-3 Mei 2019.

Dalam acara, Jonan mengunjungi tambang emas legendaris milik Freeport Indonesia, yaitu Grasberg, yang lokasinya 4.285 meter di atas permukaan laut.

Tambang Grasberg ini akan habis kandungan mineralnya dan berhenti beroperasi pada pertengahan 2019 ini. Sebagai gantinya, produksi meas, perak, dan tembaga Freeport akan mengandalkan tambang bawah tanah yang lokasinya di bawah Grasberg.

Dalam kunjungan tersebut, Jonan didampingi Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, serta sejumlah pejabat Kementerian ESDM.

Perjalanan menuju Grasberg dilakukan menggunakan bus khusus, dan sempat disambung dengan menggunakan kereta gantung atau disebut tram yang mengantarkan hingga ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut, dan disambung dengan bus lagi hingga ke puncak Grasberg.

Cuaca gerimis serta oksigen yang tipis menyambut kedatangan Jonan dan rombongan di lokasi puncak Grasberg.

Dalam kunjungannya Jonan mengatakan, tantangan saat ini adalah membuat operasional Freeport terus berjalan dengan baik, dan produksi, keselamatan kerja, serta lingkungan dapat terjaga dengan baik.

Jonan meminta agar tidak ada hambatan dalam pengelolaan tambang Freeport pasca pengambilalihan 51% saham oleh Inalum.

Jonan juga meminta agar ke depan peranan Freeport terhadap masyarakat Papua makin besar, lewat pembangunan sarana dan prasarana seperti sekolah serta rumah sakit atau puskesmas. (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel)
Foto: Tambang Freeport Grasberg, Timika (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga tembaga turun pada perdagangan hari ini karena pengetatan pembatasan COVID-19 di konsumen logam utama China memicu kekhawatiran tentang permintaan. Ditambah dengan dolar yang lebih kuat semakin membebani pasar tembaga.

Pada Senin (9/5/2022) pukul 11.26 WIB harga tembaga dunia tercatat US$ 9.354/ton, turun 0,36% dibandingkan harga penutupan sebelumnya.

Shanghai dan Beijing, yang bergulat dengan wabah COVID-19 terburuk sejak epidemi dimulai, semakin memperketat pembatasan pada penduduk mereka minggu ini. Menghalangi mereka meninggalkan rumah dan kompleks mereka, memicu kemarahan dan kecemasan baru.

Kekhawatiran atas pengetatan penguncian di ekonomi terbesar kedua di dunia yang merugikan pertumbuhan ekonomi global juga mengurangi selera untuk aset berisiko di kalangan investor.

"Tidak ada cahaya pasti di ujung terowongan penguncian China," kata Stephen Innes, Managing Partner di SPI Asset Management.

"Dengan awan kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif dan tidak menyenangkan menjulang di cakrawala, penerima manfaat inflasi seperti komoditas keras semakin ditekan lebih rendah."

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin pada Kamispekan lalu waktu Indonesia.Tidak hanya menaikkan suku bunga, The Fed juga akan mengurangi nilai neracanya, sehingga likuiditas di perekonomian Amerika Serikat akan terserap lebih banyak. Harapannya inflasi bisa terkendali.

Terserapnya likuiditas artinya jumlah dolar AS yang beredar menjadi berkurang, alhasil nilainya pun terus menanjak.

Dollar Index(yang menggambarkan posisigreenbackdi hadapan enam mata uang utama dunia) menyentuh level tertingginya dalam 20 tahun yang berada di level 104,07. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2002,

Saat dolar AS menguat, aset-aset berbasis dolar AS seperti logam industri seperti tembaga jadi lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang lain. Permintaan tembaga turun, harga pun terkoreksi

Harga tembaga turun pada perdagangan hari ini karena pengetatan pembatasan COVID-19 di konsumen logam utama China memicu kekhawatiran tentang permintaan. Ditambah dengan dolar yang lebih kuat semakin membebani pasar tembaga.

Pada Senin (9/5/2022) pukul 11.26 WIB harga tembaga dunia tercatat US$ 9.354/ton, turun 0,36% dibandingkan harga penutupan sebelumnya.

Shanghai dan Beijing, yang bergulat dengan wabah COVID-19 terburuk sejak epidemi dimulai, semakin memperketat pembatasan pada penduduk mereka minggu ini. Menghalangi mereka meninggalkan rumah dan kompleks mereka, memicu kemarahan dan kecemasan baru.

Kekhawatiran atas pengetatan penguncian di ekonomi terbesar kedua di dunia yang merugikan pertumbuhan ekonomi global juga mengurangi selera untuk aset berisiko di kalangan investor.

"Tidak ada cahaya pasti di ujung terowongan penguncian China," kata Stephen Innes, Managing Partner di SPI Asset Management.

"Dengan awan kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif dan tidak menyenangkan menjulang di cakrawala, penerima manfaat inflasi seperti komoditas keras semakin ditekan lebih rendah."

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin pada Kamispekan lalu waktu Indonesia.Tidak hanya menaikkan suku bunga, The Fed juga akan mengurangi nilai neracanya, sehingga likuiditas di perekonomian Amerika Serikat akan terserap lebih banyak. Harapannya inflasi bisa terkendali.

Terserapnya likuiditas artinya jumlah dolar AS yang beredar menjadi berkurang, alhasil nilainya pun terus menanjak.

Dollar Index(yang menggambarkan posisigreenbackdi hadapan enam mata uang utama dunia) menyentuh level tertingginya dalam 20 tahun yang berada di level 104,07. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2002,

Saat dolar AS menguat, aset-aset berbasis dolar AS seperti logam industri seperti tembaga jadi lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang lain. Permintaan tembaga turun, harga pun terkoreksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Khawatir Omicron, Harga Tembaga Drop 2% dalam Seminggu!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular