Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan tanda perbaikan, bangkit dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Hal ini akan membuat bank sentral The Federal Reserve/The Fed makin yakin untuk mengetatkan kebijakan moneter secara agresif.
US Bureau of Labor Statistics melaporkan, perekonomian AS menciptakan 428.000 lapangan kerja sepanjang April 2022. Lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang 391.000. Dengan demikian, sudah 12 bulan beruntun perekonomian AS membuka lebih dari 400.000 lapangan kerja.
Data ini membuat faktor untuk mengetatkan kebijakan moneter lengkap sudah. Selain inflasi, penciptaan lapangan kerja juga menjadi faktor bagi The Fed untuk menentukan arah kebijakan moneter.
Pada Kamis (5/5/2022) dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin menjadi 0,75-1%. Ini bukan yang terakhir, karena pada akhir tahun pasar memperkirakan suku bunga acuan berada di rentang 3-3,25%.
 Sumber: CME FedWatch |
Seiring tren kenaikan suku bunga acuan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS pun terkerek. Untuk tenor 10 tahun, yield sudah menyentuh di atas 3%, sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 2018.
Kenaikan yield menjadi modal kuat bagi dolar AS untuk menguat. Sebab, yield yang tinggi akan membuat investor berbondong-bondong memborong surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden.
So, keperkasaan dolar AS adalah sebuah keniscayaan sejarah. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sempat menyentuh rekor tertinggi sejak 2022 atau 20 tahun.
Namun bagi dunia, penguatan dolar AS lebih membawa mudarat ketimbang manfaat. Ini karena harus diakui bahwa dolar AS adalah mata uang global. Mayoritas investasi, perdagangan, pembayaran kewajiban, dan sebagainya masih menggunakan mata uang Negeri Paman Sam.
Goldman Sachs, bank papan AS, punya sebuah indikator yang diberi nama Financial Conditions Index (FCI). Indikator ini mengukur dampak perdagangan internasional terhadap perekonomian, yang mana perdagangan itu masih sangat bergantung pada dolar AS.
Apabila FCI naik sampai 100 bps, maka berarti pembiayaan untuk aktivitas perdagangan sedang ketat. Oleh karena itu, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi akan turun 1 poin persentase.
Sejak 1 April, FCI sudah naik 104 bps. Artinya, ada kemungkinan ekonomi dunia akan mengalami perlambatan.
Jadi, apakah rupiah bakal terancam?
Well, depresiasi rupiah memang sulit terhindarkan. Sejak akhir 2021 hingga akhir April 2022, mata uang Tanah Air melemah 1,72% di hadapan dolar AS. Apa boleh buat, dolar AS memang terlampau kuat...
TIM RISET CNBC INDONESIA