
Awas, Dolar Ngamuk! Mampukah Rupiah Selamat...?

Seiring tren kenaikan suku bunga acuan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS pun terkerek. Untuk tenor 10 tahun, yield sudah menyentuh di atas 3%, sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 2018.
Kenaikan yield menjadi modal kuat bagi dolar AS untuk menguat. Sebab, yield yang tinggi akan membuat investor berbondong-bondong memborong surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden.
So, keperkasaan dolar AS adalah sebuah keniscayaan sejarah. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sempat menyentuh rekor tertinggi sejak 2022 atau 20 tahun.
Namun bagi dunia, penguatan dolar AS lebih membawa mudarat ketimbang manfaat. Ini karena harus diakui bahwa dolar AS adalah mata uang global. Mayoritas investasi, perdagangan, pembayaran kewajiban, dan sebagainya masih menggunakan mata uang Negeri Paman Sam.
Goldman Sachs, bank papan AS, punya sebuah indikator yang diberi nama Financial Conditions Index (FCI). Indikator ini mengukur dampak perdagangan internasional terhadap perekonomian, yang mana perdagangan itu masih sangat bergantung pada dolar AS.
Apabila FCI naik sampai 100 bps, maka berarti pembiayaan untuk aktivitas perdagangan sedang ketat. Oleh karena itu, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi akan turun 1 poin persentase.
Sejak 1 April, FCI sudah naik 104 bps. Artinya, ada kemungkinan ekonomi dunia akan mengalami perlambatan.
Jadi, apakah rupiah bakal terancam?
Well, depresiasi rupiah memang sulit terhindarkan. Sejak akhir 2021 hingga akhir April 2022, mata uang Tanah Air melemah 1,72% di hadapan dolar AS. Apa boleh buat, dolar AS memang terlampau kuat...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
