
Warga AS 'Merana' Karena Suku Bunga, Warga RI Perlu Waspada?

Kenaikan suku bunga acuan tidak hanya dilakukan oleh bank sentral AS, beberapa bank sentral utama dunia lainnya juga telah menaikkan suku bunga acuannya demi mencegah inflasi yang kian meresahkan. Beberapa negara yang sudah menaikkan suku bunga acuannya termasuk Inggris, Brazil, Rusia, India hingga Hong Kong.
Menyusul tren kenaikan suku bunga acuan di pasar global, Bank Indonesia pun diperkirakan mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada tahun ini.
Jika nantinya BI menaikkan suku bunga acuan mereka, suku bunga pinjaman perbankan pun diyakini akan ikut merangkak naik, termasuk bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam catatan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bunga KPR biasanya merespons cepat kenaikan suku bunga BI.
Saat BI melakukan pengetatan moneter secara agresif pada tahun 2018, bunga KPR juga naik cepat. Pada periode Mei-November 2018, suku bunga acuan BI meningkat 50 bps dari 5,50% di Mei menjadi 6,00% di November. Pada periode yang sama, rata-rata bunga KPR naik dari 9,49% menjadi 10,70%.
Berdasarkan data OJK, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) rata-rata untuk KPR pada Februari 2022 ada di level 8,72%. Tingkat bunga tersebut bisa saja terkerek cepat jika BI menaikkan suku bunga tahun ini.
Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan inflasi kemungkinan akan membuat BI menaikkan suku bunga acuannya. Sebagai dampaknya, bunga pinjaman perbankan pun akan meningkat.
"Yang terdampak kenaikan inflasi dan suku bunga acuan BI adalah KPR dengan bunga floating. Mungkin bisa naik 1%-2% pada tahun 2022. Yang sekarang di 7,5% bisa menjadi 9,5%," tutur Bhima, kepada CNBC Indonesia.
Bhima menambahkan kenaikan bunga KPR akan menjadi hantaman kesekian bagi sector properti tahun ini. Sektor tersebut dikhawatirkan sudah terdampak oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga barang konstruksi, serta perabotan.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo pada konferensi hasil RDG bulan lalu mengatakan tidak menutup kemungkinan BI untuk menaikkan suku bunga tetapi kebijakan tersebut akan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dalam merespons kenaikan kelompok pengeluaran administered price.
Pemerintah berencana menyalurkan sejumlah bantuan sosial untuk memitigasi dampak kenaikan harga BBM serta kenaikan harga pangan akibat perang Rusia-Ukraina, salah satunya adalah subsidi minyak goreng serta bantuan subsidi upah.
"Tetapi ini [kebijakan moneter BI] akan sangat tergantung pada respons dari kebijakan pemerintah khususnya yang berimplikasi pada administered price. Rencananya, stance kami sudah arahkan ke sana, besarannya, urutannya, magnitude-nya maupun timing akan sangat tergantung kebijakan pemerintah," tutur Perry dalam konferensi pers usai menggelar RDG, Selasa (18/4).
Perry menegaskan Bi akan mengukur terlebih dahulu dampak kenaikan adminstered price secara hati-hati. BI juga akan terus menyeimbangkan antara kepentingan menjaga stabilitas serta mendorong pertumbuhan ekonomi. BI juga mengingatkan bahwa kebijakan moneter tidak harus berupa kenaikan suku bunga tetapi juga bisa berupa relaksasi kebijakan makroprudensial.
"Kami akan sangat ekstra hati-hati. Kami akan mempertimbangkan antara kebijakan stabilitas termasuk stabilitas harga dengan keperluan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Esensinya sabar, sabar menunggu koordinasi yang terus berlanjut. Komitmen kami sama, menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi," tutur Perry.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd)[Gambas:Video CNBC]
