Ekonomi AS Kuartal I-2022 Babak Belur, Apa Dampaknya ke RI?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
29 April 2022 15:30
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden AS Joe Biden
Foto: Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden AS Joe Biden berbicara dalam pertemuan bilateral pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris (1/11/2021). (REUTERS/Kevin Lamarque)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi AS mengalami kontraksi dalam tiga bulan pertama tahun ini, karena kendala pasokan di dalam negeri, penurunan permintaan di luar negeri, dan inflasi tinggi membebani pemulihan yang sejatinya masih tangguh.

Kontraksi ini terjadi kala kasus Omicron menyebar luas dan dana bantuan pandemi dari pemerintah mulai berakhir, tetapi penurunan tersebut memberikan gambar yang kurang tepat karena permintaan domestik tetap kuat. Belanja konsumen dan bisnis mengindikasikan bahwa pertumbuhan akan segera berlanjut.

Departemen Perdagangan mengumumkan produk domestik bruto (PDB) AS turun 1,4% pada tingkat tahunan, berbalik arah secara tajam dari tingkat pertumbuhan tahunan 6,9% pada kuartal keempat 2021. Ini merupakan kontraksi pertama sejak awal pandemi Covid-19 mendorong ekonomi AS ke dalam resesi.

Pelemahan ini sebagian besar didorong oleh defisit perdagangan yang lebih luas karena impor melonjak, dan perlambatan laju akumulasi persediaan. Dalam triwulan pertama tahun ini, laju investasi inventaris yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan penumpukan inventaris yang cepat di akhir tahun lalu ikut membebani pertumbuhan.

Dinamika tersebut mencerminkan kendala rantai pasokan terkait pandemi, yang kian diperparah dengan perang yang terjadi di Ukraina.

Meski demikian, ukuran permintaan domestik meningkat dari kuartal keempat, yang artinya kekhawatiran stagflasi atau resesi mulai berkurang. Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin Rabu depan. Bank sentral AS menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 25 basis poin pada bulan Maret, dan kemungkinan akan segera mulai memangkas kepemilikan asetnya.

Belanja konsumen, pendorong utama ekonomi, naik pada tingkat tahunan 2,7% pada kuartal pertama, sedikit lebih cepat dari akhir tahun lalu. Bisnis juga menggelontorkan lebih banyak uang untuk berinvestasi dalam peralatan serta penelitian dan pengembangan (Litbang/R&D), memicu kenaikan 9,2% dalam pengeluaran bisnis.

Meski ekonomi terkontraksi, hal ini tidak akan mengubah rencana Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga dengan cepat tahun ini, termasuk setengah poin persentasi (50 bps) pada pertemuan dalam dua hari minggu ke depan. Hal tersebut salah satunya karena dalam laporan tersebut ada kekhawatiran tambahan bahwa ekonomi tumbuh terlalu cepat di beberapa sektor utama. Permintaan swasta pada kuartal pertama tumbuh pada tingkat tahunan 3,7%, jauh di atas tingkat pertumbuhan 1,8% yang diharapkan Fed untuk ekonomi secara keseluruhan.

Kontraksi yang terjadi pada ekonomi AS di tengah belanja konsumen yang naik menimbulkan tanda tanya bagi analis dan ekonom.

"Tidak masuk akal bahwa PDB riil menurun," kata Conrad DeQuadros, penasihat ekonomi senior di Brean Capital di New York, dilansir Reuters.

Ketidaksesuaian tersebut mengisyaratkan produktivitas yang lebih lemah pada kuartal pertama tahun ini.

Pemuatan di awal untuk mengamankan pasokan oleh bisnis yang takut akan kekurangan dan kelangkaan akibat perang Rusia-Ukraina berkontribusi pada lonjakan impor. Di sisi lain ekspor anjlok, menyebabkan defisit perdagangan melebar, yang memangkas 3,20 poin persentase dari pertumbuhan PDB, terbesar sejak kuartal ketiga 2020.

Perdagangan kini telah menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi AS selama tujuh kuartal berturut-turut.

Rincian PDB ASFoto: Refinitiv
Rincian PDB AS

Permintaan tinggi menyebabkan para pengusaha beralih ke impor karena produsen lokal tidak memiliki kapasitas untuk meningkatkan produksi. Persediaan bisnis meningkat pada kecepatan US$ 158,7 miliar, melambat dari tingkat US$ 193,2 miliar selama Oktober-Desember tahun lalu. Investasi persediaan tersebut memotong 0,84 poin persentase dari pertumbuhan PDB.

Pertumbuhan belanja konsumen, yang menyumbang lebih dari dua pertiga aktivitas ekonomi AS naik meskipun mengalami gelombang kenaikan kasus virus corona varian Omicron.

Hilangnya uang pandemi ke rumah tangga dari pemerintah sebagian besar diimbangi oleh kenaikan upah di tengah pasar tenaga kerja yang kian ketat. Sementara itu, pengeluaran pemerintah turun untuk kuartal kedua berturut-turut.

Kondisi pasar tenaga kerja yang ketat diperkuat oleh laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja yang menunjukkan klaim awal untuk tunjangan pengangguran negara turun 5.000 ke penyesuaian musiman 180.000 untuk pekan yang berakhir 23 April. Dengan rekor hampir 11,3 juta lowongan pekerjaan pada akhir Februari, pengusaha berusaha mati-matian mencari calon pekerja.

Banyak ekonom berpikir bahwa ekonomi dapat menahan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dan kembali tumbuh secara moderat pada kuartal kedua dan seterusnya, sebagian karena kondisi bisnis semarak dan konsumen terus berbelanja.

Konsumen membelanjakan lebih banyak pada sektor jasa di tengah total kasus Covid-19 yang lebih rendah dan pencabutan pembatasan pandemi yang tersisa. Pariwisata adalah contoh utama dengan tingkat hunian hotel AS berada di 65,8% untuk pekan yang berakhir 23 April, naik dari 49,6% pada akhir Januari, menurut STR, sebuah perusahaan data dan analisis perhotelan global.

Penumpang pesawat juga naik setelah perlambatan perjalanan yang terjadi kala varian Omicron meluas. Sekitar 2,1 juta orang melewati pos pemeriksaan bandara pada akhir April, naik dari 1,4 juta tiga daro bulan sebelumnya, menurut Administrasi Keamanan Transportasi (Transportation Security Administration/TSA).

Ke depan, ekonom yang disurvei oleh The Wall Street Journal memperkirakan PDB AS akan naik 2,6% pada akhir tahun 2022 dari tahun sebelumnya, menyamai pertumbuhan tahunan 2019, tetapi masuk jauh di bawah pertumbuhan 5,5% yang tercatat tahun lalu.

"Ekonomi AS tidak mendekati resesi," kata Gus Faucher, kepala ekonom PNC Financial dilansir Reuters. "Permintaan yang mendasari tetap kuat, dan pasar tenaga kerja dalam kondisi yang sangat baik. Pertumbuhan akan dilanjutkan pada kuartal kedua."

Ketakutan terbesar dalam negeri tentu apabila di Amerika Serikat terjadi resesi, yang pastinya akan mengirim gelombang perlambatan ekonomi secara luas di tingkat global.

Resesi sendiri ditandai dengan kontraksi dalam produk domestik bruto (PDB) secara tahunan (yoy) selama 2 kuartal beruntun atau lebih dalam satu tahun.

Resesi merupakan hal yang biasa terjadi, Amerika Serikat bahkan sudah berulang kali mengalami resesi.

Meski sudah biasa terjadi, tetapi efeknya cukup buruk. PDB seperti disebutkan sebelumnya mengalami penurunan, kemudian pendapatan masyarakat menurun, begitu juga dengan aktivitas manufaktur serta penjualan ritel. Tingkat pengangguran juga akan mengalami kenaikan.

Meski ekonom dan analis meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan segera pulih dan resesi sepertinya tidak akan terjadi tahun ini, perang di Ukraina atau lockdown di China dapat mengubah kesetimbangan.

Jika sampai terjadi, pelemahan ekonomi negara ekonomi terbesar di dunia, tentu dapat merembes ke Indonesia mengingat posisi Amerika Serikat juga cukup penting bagi Indonesia. AS merupakan mitra dagang terbesar kedua RI setelah China.

Sepanjang 2021, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 25,8 miliar, yang berkontribusi 11,75% terhadap total ekspor. Ketika resesi terjadi, apabila permintaan dari negara adidaya turun, maka akan membebani ekonomi RI.

Jika melihat ke belakang - pengecualian pandemi global 2020, resesi yang dialami AS pada periode 2007 hingga 2009 serta krisis finansial global memang tidak membuat Indonesia mengalami resesi, tetapi cukup membuat produk domestik bruto (PDB) mengalami pelambatan.

Pada kuartal I-2009, PDB Indonesia terjun ke bawah 5% (yoy), dan baru bisa kembali lagi ke atasnya di kuartal IV-2009.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular