Dolar Singapura Liar Pekan Ini, Efek Pengetatan Moneter?
Jakarta, CNBC Indonesia - Volatilitas dolar Singapura melawan rupiah mengalami peningkatan tajam di pekan ini. Hal ini terjadi setelah Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) mengetatkan kebijakan moneternya pada Kamis pekan lalu.
Pada perdagangan Kamis (21/4/2022) pukul 11:18 WIB, dolar Singapura turun 0,2% ke Rp 10.504/SG$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Kemarin, Mata Uang Negeri Merlion ini menguat 0,46%, sementara dua hari sebelumnya merosot 0,57% dan 0,32%.
Untuk dolar Singapura, pergerakan tersebut terbilang besar, sebab biasanya perharinya tidak lebih dari 0,2%.
Seperti diketahui MAS pada Kamis (14/4/2022) mengumumkan merubah titik tengah (centre) menjadi lebih tinggi, dan sedikit menaikkan slope.
Untuk diketahui, di Singapura, tidak ada suku bunga acuan, kebijakannya menggunakan S$NEER (Singapore dollar nominal effective exchange rate), yang terdiri dari kemiringan (slope), lebar (width) dan titik tengah (centre).
Kebijakan moneter, apakah itu longgar atau ketat, dilakukan dengan cara menetapkan kisaran nilai dan nilai tengah dolar Singapura terhadap mata uang negara mitra dagang utama. Kisaran maupun nilai tengah itu tidak diumbar kepada publik.
Sebelumnya MAS sudah menaikkan slope sebanyak dua kali pada Oktober 2021 dan Januari tahun ini. Slope berfungsi membuat penguatan/penurunan dolar Singapura lebih cepat/lambat.
Ketika slope dinaikkan, maka dolar Singapura bisa menguat lebih cepat, begitu juga sebaliknya.
Dengan MAS yang sudah 3 kali mengetatkan kebijakan moneternya, dolar Singapura diperkirakan akan unggul di ASEAN. Tetapi nyatanya, masih sulit menumbangkan rupiah.
Sepanjang tahun ini, dolar Singapura masih melemah 0,42% melawan rupiah.
Fundamental dalam negeri yang terus membaik membuat rupiah cukup kuat. Kenaikan harga komoditas memberikan keuntungan bagi Indonesia, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 23 bulan beruntun.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia bulan lalu adalah US$ 21,97 miliar. Tumbuh 32,02% dibandingkan Februari 2022 (month-to-month/mtm) dan 30,85% dibandingkan Maret 2021 (year-on-year/yoy).
Sementara nilai ekspor Maret 2022 adalah US$ 26,5 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 4,53 miliar.
Surplus ini adalah yang ketiga terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Hanya kalah dari Oktober 2021 (US$ 5,74 miliar) dan Agustus 2021 (US$ 4,75 miliar).
Kinerja positif neraca perdagangan tersebut membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021.
Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Transaksi berjalan merupakan salah satu dari dua pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Surplus transaksi berjalan tersebut menjadi kunci stabilnya rupiah, bahkan bisa menguat sebab mencerminkan arus devisa yang bertahan lama di dalam negeri, tidak seperti pos yang lainnya yakni transaksi modal dan finansial yang gampang datang dan pergi.
Untuk transaksi berjalan sendiri di tahun ini, Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi defisit menjadi 0,5% - 1,3% dari PDB, dari proyeksi sebelumnya sekitar 1,1% - 1,9% dari PDB. Proyeksi tersebut jauh lebih rendah dari rata-rata defisit pada periode 2012 - 2020 sebesar 2,3% dari PDB.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)