Apa Perbedaan Resesi dan War-cession, Ini Penjelasannya..

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
12 April 2022 17:09
Russia Ukraine War Weapons Explainer
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi global kembali mencuat setelah Perencana Investasi legendaris, David Roche, menilai konflik Ukraina yang terjadi di tengah inflasi yang tinggi dan perekonomian global yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, kembali memperburuk situasi hingga mendorong ekonomi global ke zona resesi.

Namun, dia menyatakan bahwa dunia tidak dilanda oleh resesi biasa tapi 'war-cession'. Lantas apa perbedaanya dengan resesi biasa? Secara umum, resesi dipahami sebagai sebuah kondisi di mana keseluruhan permintaan menjadi lesu berbarengan dengan penurunan pertumbuhan output seperti barang atau jasa sementara inflasi rendah.

Secara teknis, keadaan resesi terjadi ketika ekonomi menunjukkan gejala-gejala kontraksi selama lebih dari dua kuartal fiskal beruntun yang disertai dengan penurunan lapangan kerja. Semuanya melesu.

Sementara itu, 'war-cession' terjadi bukan karena dipicu oleh buruknya fundamental perekonomian tapi karena situasi darurat (force majeur), di mana pasokan komoditas penting dunia anjlok di pasar dunia akibat perang, sehingga harga meroket dan inflasi meninggi.

Perang antara Rusia dan Ukraina telah memicu angka inflasi di AS melonjak, di mana harga komoditas dunia seperti minyak, gas, dan komoditas lainnya melesat karena hambatan pada rantai pasokan.

Jika melihat kepada situasi di Amerika Serikat (AS), inflasi AS telah melonjak di Februari dan berada di 7,9% berdasarkan consumer price index (CPI) dan menjadi level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.

Sementara itu, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tumbuh 6,4% secara tahunan di bulan Februari.

Mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summer menekankan dalam Washington Post baru-baru ini, bahwa dalam sejarah AS selama 75 tahun terakhir, setiap kali inflasi melebihi 4% dan pengangguran turun di bawah 5%, ekonomi AS akan mengalami resesi dalam dua tahun kemudian.

Hari ini tingkat inflasi 7,9% dan tingkat pengangguran AS turun menjadi 3,6% di Maret. Summer memprediksikan setidaknya ada 80% peluang AS akan mengalami resesi pada tahun 2023.

Pada Selasa (5/4/2022), terjadi inversi kurva imbal hasil (yield) obligasi tenor 2 tahun dan 10 tahun. Tercatat, yield obligasi tenor 2 tahun berada di level 2,422% lebih tinggi dari tenor 10 tahun di 2,408%, di mana spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dan tenor 2 tahun hanya -0,014%.

Riset The Fed San Francisco pada 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam kurun waktu 6 hingga 24 bulan setelahnya.

Roche menilai pasar tenaga kerja yang tidak seirama dengan pertumbuhan ekonomi membawa kita pada situasi yang sangat aneh, di mana bank sentral harus memilih untuk menaklukkan angka inflasi atau menumbuhkan ekonomi.

Pada Maret lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin. Namun, risalah pertemuan The Fed Maret lalu menunjukkan bahwa bank sentral tersebut merencanakan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 basis poin untuk menaklukkan angka inflasi yang tinggi.

Jika benar itu diambil, maka pertumbuhan ekonomi akan dikorbankan yang kian mengafirmasi ramalan soal resesi.

Jika membicarakan resesi, kurang afdol jika tidak membicarakan krisis ekonomi hebat atau Great Depression. Istilah Great Depression muncul ketika terjadi krisis ekonomi di AS yang berkepanjangan selama satu dekade pada tahun 1929 hingga 1939.

Hal tersebut diawali dengan turunnya harga saham pada September 1929 dan mencapai puncak pada 24 Oktober 1929, di mana adanya penjualan saham secara masif dalam waktu sehari yang dikenal dengan sebutan Black Thursday dengan rekor sebanyak 12,9 juta saham diperdagangkan.

Penjualan saham di bursa saham AS mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap pasar saham, sehingga daya beli menurun, investasi menyusut dan sektor industri bergejolak. Akibatnya, PDB AS menurun secara dramatis dari US$104,6 miliar pada tahun 1929 menjadi US$57,2 miliar di 1933.

Selain itu, angka pengangguran meningkat menjadi hampir 25% dan upah menurun. Di sisi lain, menurut Biro Tenaga Kerja AS, Indeks Harga Konsumen (IHK) AS turun 27% pada periode November 1929 hingga Maret 1933.

Karena kondisi ekonomi tidak stabil, maka investor pun menarik uang mereka dari bank secara massal yang mengakibatkan banyaknya bank yang kekurangan simpanan dan satu per satu perbankan di AS terpaksa gulung tikar.

Great Depression juga berimbas pada ekonomi negara lain, seperti Prancis yang ikut mengalami penurunan pada produksi di awal 1930-an. Selain itu, Jerman mengalami penurunan ekonomi pada awal 1929 dan kembali pulih pada kuartal ketiga di tahun itu.

Harga komoditas seperti kopi, kapas, sutera dan karet diperdagangkan lebih rendah selama periode resesi.

Namun, pada tahun 1932, Franklin Roosevelt terpilih menjadi Presiden AS dan mengeluarkan undang-undang untuk menstabilkan produksi industri dan pertanian serta menciptakan lapangan kerja untuk memulihkan ekonomi.

Dia juga mendirikan Deposit Insurance Corporation (FDIC) dan Securities and Exchange Commission (SEC) untuk mengatur pasar saham dan mencegah penyalahgunaan, sehingga Great Depression tidak akan terjadi lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular