Kena Sanksi AS, Kok Neraca Dagang Rusia Cetak Rekor Surplus?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia mencatat rekor surplus transaksi berjalan terbesar, setidaknya sejak data tersebut mulai tersedia tahun 1994, karena pendapatan dari ekspor minyak dan gas melonjak dan impor jatuh setelah AS dan sekutunya memberlakukan sanksi atas invasi Presiden Vladimir Putin ke Ukraina.
Pendapatan dari surplus perdagangan menjadi sumber penting akan hard currency selama perang, memungkinkan pihak berwenang Rusia untuk membayar biaya impor, mendukung ekonomi dan memulihkan kepercayaan pada rubel.
Surplus dalam transaksi berjalan yang merupakan ukuran terluas arus perdagangan dan investasi nilainya mencapai US$ 58,2 miliar pada akhir kuartal pertama tahun ini. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat yang dilaporkan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 22,5 miliar, berdasarkan data dari Bank of Russia yang diumumkan Senin (11/4) kemarin.
Meskipun sanksi besar-besaran yang diberlakukan negara blok Barat diperkirakan akan memicu resesi terparah dalam beberapa dekade, pembatasan tersebut pada kuartal satu tidak mencakup ekspor energi utama Rusia, yang telah diuntungkan setelah harga melonjak sejak invasi dimulai pada 24 Februari.
Karenanya dampak sanksi masih belum terlihat di bulan Maret, seperti yang diungkapkan oleh Sofya Donets, ekonom di Renaissance Capital di Moskow. Dilansir Bloomberg, Sofya menyebut surplus bulan Maret, yang merupakan satu bulan penuh perang, diperkirakan mencapai US$ 19 miliar.
Lebih lanjut, Institute of International Finance memperkirakan surplus dapat mencapai US$ 240 miliar karena tingginya harga energi.
Harga energi yang tinggi pada kuartal pertama juga membantu anggaran Rusia, menghasilkan 273,4 miliar rubel (US$ 3,4 miliar) yang disediakan pemerintah untuk program sosial, dukungan ekonomi, dan kebutuhan lainnya.
Selain itu, surplus yang tumbuh signifikan ini juga dipacu oleh kontrol modal yang diberlakukan bank sentral Rusia untuk membatasi pelemahan rubel. Kontrol tersebut berarti bahwa arus keluar investasi hampir semuanya terputus.
Cadangan devisa turun
Rusia telah bertahun-tahun menyimpan 'rejeki nomplok' dari pendapatan energi dalam bentuk cadangan devisa, yang nilainya mencapai US$ 643,2 miliar beberapa hari sebelum perang meletus. Keputusan tersebut juga merupakan upaya untuk mengurangi eksposur terhadap mata uang AS.
Saat ini cadangan devisa Rusia mulai tergerus akibat dampak perang dan nilainya turun tipis menjadi US$ 617 miliar.
Dalam laporan terpisah pada hari Senin, bank sentral Rusia mengatakan telah memangkas porsi dolar dalam cadangan devisa menjadi 10,9% pada 1 Januari, dari 21,2% tahun sebelumnya. Sedangkan kepemilikan Euro naik menjadi 33,9% dari 29,2% dan proporsi yuan mencapai 17,1% dari 12,8%. Emas turun sedikit ke level 21,5%.
Akan tetapi invasi ke Ukraina memicu kecaman internasional termasuk sanksi pada bank sentral Rusia, yang menyebabkan sekitar setengah dari cadangannya disita dan tidak dapat dipindahkan.
Meski demikian, Gubernur Bank Sentral Rusia, Elvira Nabiullina mengatakan dalam laporan tahunan bahwa "Rusia memiliki cadangan emas dan yuan dalam jumlah yang cukup."
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd)