Ada Sinyal Mau Resesi, Indonesia Dalam Posisi Siaga?

Teti Purwanti, CNBC Indonesia
07 April 2022 11:35
cover topik/RI Keluar Dari Resesi Ekonomi_Konten

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar buruk seolah tidak pernah berhenti menghantam pasar saham global, mulai dari pandemi Covid-19, resesi, inflasi tinggi hingga perang Rusia Ukraina. Kini, muncul lagi isu baru yakni inversi yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS).

Meski inversi bukan hal yang baru dan sudah sering terjadi namun tetap bisa membuat pasar saham AS (Wall Street) goyang dalam jangka pendek. Parahnya, jika mengalami kemerosotan yang tajam, tentunya akan merembet ke pasar saham negara lainnya termasuk Indonesia.

Inversi tersebut kembali terjadi pada Selasa (5/4/2022) pukul 10:57 WIB, yield Treasury tenor 2 tahun berada di level 2,422% lebih tinggi dari tenor 10 tahun di 2,408%, dan sudah terjadi sejak Kamis pekan lalu. Spread antara yield Treasury tenor 10 tahun dengan tenor 2 tahun kini -0,014%.



Menurut MUFG Securities, di tahun 2019 inversi terjadi 163 hari sebelum resesi tahun 2020. Sementara saat Amerika Serikat mengalami resesi antara 2007 -2009 inversi terjadi 571 hari sebelumnya, dan resesi di tahun 2001 inversi terjadi 422 hari sebelumnya.

Kemungkinan kembali terjadinya resesi juga diungkapkan Triliuner Carl Icahn.

"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).

Tingginya inflasi di Amerika Serikat, plus bank sentral AS (The Fed) yang akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan resesi.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) tertinggi sejak Januari 1982. Sementara yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,4% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Agutus 1982.

Amerika Serikat merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ketika mengalami pelambatan atau bahkan sampai resesi maka negara-negara lain akan ikut terseret.
Posisi Amerika Serikat juga cukup penting bagi Indonesia, sebab merupakan mitra dagang terbesar kedua setelah China.

Sepanjang 2021, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 25,8 miliar, yang berkontribusi 11,75% terhadap total ekspor. Ketika resesi terjadi, permintaan dari negara adidaya tersebut tentunya akan menurun.

Tahun 2020 saat AS mengalami resesi, Indonesia juga ikut menyusul. Tetapi faktor utamanya kala itu yakni pandemi Covid-19. Tidak hanya AS dan Indonesia, banyak negara juga mengalami hal yang sama.

Jika melihat ke belakang, resesi yang dialami AS pada periode 2007 hingga 2009 serta krisis finansial global memang tidak membuat Indonesia mengalami resesi, tetapi cukup membuat produk domestik bruto (PDB) mengalami pelambatan.



Pada kuartal I-2009, PDB Indonesia terjun ke bawah 5% (yoy), dan baru bisa kembali lagi ke atasnya di kuartal IV-2009.

Meski demikian, banyak analis yang melihat resesi tidak akan terjadi saat ini, sebab The Fed yang mempengaruhi pergerakan yield Treasury dengan kebijakan pembelian obligasi (quantitative easing/QE).

Kebijakan tersebut memang sudah berakhir bulan lalu, tetapi saat ini The Fed memiliki menyimpan Treasury dengan jumlah yang jumbo. Hal tersebut terlihat dari nilai neraca (balance sheet) yang nyaris mencapai US$ 9 triliun.

Sejak pandemi Covid-19 nilai neraca The Fed melonjak US$ 4,8 triliun.

Richard Bernstein Associate, sebagaimana diwartakan CNBC International mengatakan jika The Fed tidak melakukan QE maka yield Treasury tenor 10 tahun akan berada di kisaran 3,7%. Sehingga spread dengan tenor 2 tahun akan menjadi positif 1%, tidak negatif atau mengalami inversi seperti saat ini.


(RCI/dhf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article OJK Setop Restrukturisasi Kredit Covid-19, BNI Bilang Gini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular