
Bos Garuda Blak-Blakan Bisnis Perusahaan Mati Suri Kala Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mengungkapkan bahwa perusahaan bak 'mati suri' saat pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia pada 2020-2022 lalu.
Direktur Human Capital dan Corporate Service Garuda Indonesia Enny Kristiani mengungkapkan pada saat awal pandemi Covid-19 melanda, tepatnya pada Maret 2020 lalu, perusahaan mengalami kesulitan hingga disebut seperti 'mati suri'.
"Mungkin kalau disebut Garuda sakit, bukan, mungkin sudah mati suri waktu itu," kata Enny dalam acara Dies Natalis MM FEB Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Enny menjelaskan, dirinya menyebut perusahaan seperti 'mati suri' lantaran pandemi Covid-19 berlangsung bukan hanya 3 bulan seperti perkiraan pihaknya. Namun kerugian perusahaan imbas pandemi tersebut semakin berlarut hingga berbulan-bulan lamanya.
Lebih lanjut, Enny mengatakan pada saat itu, utang perusahaan kian membengkak bahkan mencapai US$ 10,1 miliar atau setara Rp 158,1 triliun (asumsi kurs Rp 15.655 per US$) diikuti dengan nilai ekuitas negatif US$ 5,3 miliar atau negatif Rp 82,9 triliun.
"(Sektor) penerbangan diberi limitasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan (penerbangan ke) luar negeri ditutup batas negara, sehingga turun 90%, produksi kami juga alat produksi itu turun 70%," imbuhnya.
Apalagi, sambung Enny, pihaknya harus melakukan restrukturisasi yang diklaim paling kompleks sepanjang sejarah korporasi di Indonesia.
Enny menyebutkan, perusahaan juga memiliki kreditur yang banyak bahkan mencapai 800 kreditur.
"Jadi dua direktur utama Garuda sebelumnya itu mempunyai pengalaman mendapatkan persoalan hukum baik terkait dengan problem etika maupun problem penyalahgunaan kewenangan yang berdampak pada kerugian aset negara dan ini menjadi hal yang sangat serius kalau di BUMN seperti Garuda Indonesia ini," bebernya.
Belum selesai di situ, Enny mengungkapkan pihaknya juga dihadapkan dengan pengoperasian jumlah pesawat yang tidak bisa dibilang sedikit. Hal itu membuat biaya perawatan (maintenance) pesawat yang dioperasikan oleh perusahaan semakin jebol.
"Jika Bapak-bapak lihat di grafik ini tidak pernah ada revenue Garuda yang bisa menutupi biayanya. Jadi semakin deep semakin banyak kerugian yang harus dialami oleh Garuda," tambah Enny.
Namun dengan segala tantangan yang membuat GIAA bak 'mati suri' kala itu, Enny mengatakan pihaknya berhasil keluar dari keterpurukan dengan melakukan perbaikan struktur pembiayaan perusahaan, restrukturisasi jenis pesawat yang dibutuhkan, pemotongan gaji karyawan, hingga mengurangi tunggakan kreditur.
Pemerintah juga diklaim turut membantu perusahaan untuk bisa terus berjalan dengan bantuan berupa Penyertan Modal Negara (PMN). Ditambah pula dengan bantuan dari Parlemen khususnya Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang terus mendorong 'penyelamatan' Garuda Indonesia.
"Jadi stakeholder trust and reputation management itu sangat penting," tandasnya.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Momen Paus Fransiskus ke Papua Nugini Naik Pesawat Garuda