Resesi.. Resesi.. Resesi.... Rupiah Melemah Lagi!
Jakarta, CNBC Indonesia - "Hantu" resesi kembali menggentayangi perekonomian global yang membuat rupiah tertekan sejak awal pekan kemarin. Melawan dolar Amerika Serikat (AS) rupiah kembali mencatat pelemahan tipis, melanjutkan kinerja negatif awal pekan kemarin.
Melansir data Refinitiv, rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.355/US$, sebelum berbalik masuk ke zona merah. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.363/US$, melemah tipis 0,01% di pasar spot.
Inversi yield obligasi Amerika Serikat menjadi pemicu kecemasan akan kembali munculnya resesi, bahkan ada yang memprediksi bisa lebih parah dari krisis finansial 2008.
Inversi yield obligasi terjadi ketika yield tenor jangka pendek lebih tinggi ketimbang tenor jangka panjang.
Inversi terjadi saat ini terjadi pada yield tenor 5 tahun yang sebesar 2,606% sementara tenor 30 tahun berada di 2,591%. Dua tenor ini terakhir kali mengalami inversi pada 2006, dan setelahnya terjadi krisis finansial global.
Sementara yield obligasi tenor 2 tahun berada di kisaran 2,491% dan tenor 10 tahun di 2,503%, atau selisihnya hanya 0,12% saja, dan bisa sewaktu-waktu mengalami inversi juga.
Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Inversi yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Kemungkinan terjadinya resesi juga diungkapkan Triliuner Carl Icahn.
"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).
Sementara itu, Peter Schiff, CEO dari Euro Pacific Capital mengatakan ia percata pasar finansial akan mengalami crash, bahkan bisa lebih parah dari 2008.
Menurut Schiff, kebijakan moneter longgar yang dilakukan bank sentral dunia mampu menyelamatkan perekonomian dari pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), tetapi juga memicu inflasi tinggi secara struktural. Perekonomian saat ini disebut masih belum siap dengan penghentian kebijakan ultra longgar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)