Sentimen Membaik, Siang Hari Rupiah Berjaya Lawan Dolar AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell yang mengindikasikan kenaikan yang agresif tahun ini tampaknya tidak dapat membuat dolar AS menguat terhadap rupiah di perdagangan hari ini, Rabu (23/3/2022).
Melansir data dari Refinitiv, Mata Uang Tanah Air membuka perdagangan dengan menguat tipis ke Rp 14.333/US$. Pada pukul 11:00 WIB, rupiah masih menguat namun penguatannya sedikit terpangkas, menguat sebanyak 0,04% ke Rp 14.350/US$.
Indeks dolar AS sedang melemah hari ini di pasar spot sebanyak 0,08% ke level 98,409 terhadap 6 mata uang dunia. Tidak heran, Mata Uang Garuda dapat menguat hari ini.
Kemarin, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa akan ada potensi kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif untuk memerangi inflasi yang tinggi sejak 40 tahun di AS.
Disusul oleh imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun yang naik hingga 2,39% dan menjadi yang tertinggi sejak Mei 2019.
Namun, Ketua Perencana Investasi Leuthold Group Jim Paulsen menilai investor tampaknya tidak terlalu khawatir dengan hal tersebut, tercermin pada performa bursa saham Wall Street yang kompak menguat kemarin.
Di Asia, tidak hanya rupiah yang berhasil menguat, rupee India, dolar Singapura, dan baht Thailand juga terapresiasi.
Namun, hal tersebut dibantah oleh investor terkenal Carl Icahn yang mengatakan bahwa adanya potensi penurunan ekonomi dan harus bersiap terhadap aksi jual yang masif di pasar.
"Saya pikir mungkin akan ada resesi atau bahkan lebih buruk lagi," tambahnya dikutip dari CNBC International.
Menurut Direktur Institute Analysis of Global Security Gal Luft, pemerintah AS terlalu banyak memberikan sanksi, tercatat sebanyak 10 negara di dunia sedang dijatuhi sanksi ekonomi.
Hal itu berpotensi memberikan efek kumulatif, sebagai hasilnya dolar AS semakin sedikit memainkan peran. Pada awal pekan ini, Arab Saudi melakukan transaksi perdagangan minyak dengan China dan menggunakan yuan China sebagai alat transaksinya.
Wajarnya, minyak dihargai dalam dolar AS, sehingga memungkinkan Washington mengalami defisit.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)