Jakarta, CNBC Indonesia - Pemulihan ekonomi dari krisis pandemi Covid-19 mulai tercermin pada kinerja industri perbankan yang berada di garda depan ekonomi. PT Bank Mega Tbk (MEGA) mencetak kisah yang sangat berbeda: efek pandemi seolah tak pernah menerpa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia yang diukur lewat Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 3,69% secara tahunan (yoy) pada 2021, atau resmi keluar dari jurang kontraksi (negatif) pada tahun sebelumnya yang minus 2,07%.
Seiring dengan itu, menurut data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit perbankan sepanjang 2021 tercatat tumbuh sebesar 5,2% secara yoy. Angka tersebut membalik pertumbuhan negatif penyaluran kredit selama 2020 yang minus 2,4%.
Bank Mega menjadi salah satu pelaku industri perbankan yang turut menggerakkan perekonomian dari sisi penyaluran kredit dan penyerapan likuiditas berlebih di masyarakat sepanjang tahun lalu.
Sepanjang 2021, perseroan sukses memperkuat sisi top line (pendapatan) dengan mendongkrak pendapatan berbasis bunga, dan secara bersamaan mampu menekan beban bunga. Alhasil, pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) perseroan tumbuh dua digit.
Menurut data keuangan Bank Mega, pendapatan bunga perusahaan naik menjadi Rp 8,11 triliun, dari posisi 2020 yang sebesar Rp 8,04 triliun. Sementara, beban bunga turun signifikan sebesar 20,9% secara yoy menjadi Rp 3,27 triliun per akhir 2021.
NII Bank Mega pun tumbuh 23,7% secara tahunan. Tingginya pertumbuhan NII berujung pada kuatnya bottom line alias laba bersih. Sepanjang 2021, laba bersih emiten milik pengusaha nasional Chairul Tanjung (CT) ini meningkat 33,23% secara tahunan menjadi Rp 4 triliun.
Dengan demikian, setidaknya sejak 2015, Bank Mega konsisten mencetak pertumbuhan pendapatan bunga bersih dan laba bersih di tiap tahunnya meski menghadapi berbagai tantangan, termasuk krisis pandemi.
Kinerja konsisten tersebut membuat efek pandemi menjadi tak terlihat, seolah-olah perseroan sama sekali tidak menghadapi tantangan pandemi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena manajemen sukses menurunkan biaya dan secara bersamaan menjaga kualitas kredit sehingga pendapatan bunga pun terjaga positif.
Pada 2020, kala pagebluk Covid-19 menghantam sendi-sendi perekonomian RI, kredit perbankan secara industri tumbuh negatif 2,4%. Namun seperti sedikit disinggung di atas, pertumbuhan kredit industri perbankan pada tahun 2021 pulih dengan kenaikan 5,2% secara tahunan.
Sejalan dengan tren pemulihan tersebut, Bank Mega mencetak kenaikan penyaluran kredit, yang bahkan jauh lebih baik dari capaian industri dengan pertumbuhan penyaluran kredit hingga 25,14% menjadi Rp 60,67 triliun.
Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) perseroan pun tak kalah moncer, dengan pertumbuhan sebesar 24,9% secara tahunan menjadi Rp 98,9 triliun. Artinya, kepercayaan masyarakat terhadap Bank Mega masih tinggi sehingga memilih menyimpan dananya di situasi tak menentu di "brankas" Bank Mega.
Dengan pertumbuhan dua lini tersebut, kinerja intermediasi Bank Mega lagi-lagi tumbuh jauh di atas industri. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2021, pertumbuhan kredit dan penghimpunan DPK bank umum hanya naik masing-masing sebesar 5,2% dan 12,2%.
Artinya, manajemen bank yang masuk dalam Kategori Bank dengan Modal Inti (KBMI) III ini tak sekadar pintar mengucurkan kredit, melainkan juga sukses menjaga manajemen risiko dan aspek prudensial dalam bisnisnya sehingga kredit yang disalurkan tak berakhir macet.
Buktinya, rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) bruto Bank Mega sepanjang 2021 tercatat di angka 1,12% atau lebih rendah 0,27 bp ketimbang posisi yang sama tahun 2020 (di angka 1,39%). Ini menjadi NPL bruto terendah Bank Mega setidaknya sejak 2015 silam.
Sebagaimana terlihat di tabel di atas, angka NPL bruto bank yang dipimpin Kostaman Thayib sebagai Direktur Utama ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan rerata rasio NPL bruto perbankan secara umum yang tercatat sebesar 3% hingga akhir 2021.
Batas aman NPL menurut OJK adalah di bawah 5%. Dengan angka NPL bruto hanya 1,12%, Kostaman dan tim menunjukkan kelihaiannya untuk menghindari penyaluran kredit di sektor-sektor yang berisiko tinggi.
Lalu, bagaimana dengan rasio profitabilitas bank yang akan berusia 53 tahun pada 2022 ini? Setidaknya ada dua rasio profitabilitas yang penting untuk mengukur profitabilitas bank, yakni return on asset (ROA) dan return on equity (ROE).
ROA dan ROE membantu mengukur kemampuan perusahaan memanfaatkan aset dan modal (ekuitas) yang ada untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi nilainya, semakin besar imbal hasil yang didapat perusahaan.
Menurut data perusahaan, rasio ROA Bank Mega sepanjang 2021 tercatat sebesar 4,22%. Angka tersebut berada di atas rerata industri yang sebesar 1,91%. Capaian ini semakin meneguhkan tren pertumbuhan ROA Bank Mega sejak 2015.
Tidak hanya ROA, ROE Bank Mega juga sukses menembus 23,49% pada tahun lalu, atau berada di atas rata-rata ROE industri yang tercatat sebesar 10,36%. Rasio yang satu ini juga konsisten menanjak sejak 2016 silam.
Sejurus dengan lonjakan pendapatan bunga bersih sepanjang 2021, margin bunga bersih (net interest margin/NIM) Bank Mega juga naik menjadi 4,75%, lebih tinggi 0,33 basis poin (bp) dari tahun sebelumnya.
Angka tersebut juga berada di atas rerata NIM industri perbankan nasional. Sebagai gambaran, mengacu pada data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per November 2021 yang dirilis OJK, NIM bank umum tercatat di angka 4,51%.
Tidak kalah pentingnya adalah soal posisi permodalan Bank Mega dari sisi Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) atau Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang terbilang kokoh di tengah pandemi.
Menurut data keuangan perusahaan, posisi CAR Bank Mega tercatat sebesar 27,3% sepanjang 2021. Rasio tersebut lebih tinggi dari rasio CAR perbankan hingga akhir 2021 yang tercatat jauh di atas ambang batas (threshold) sebesar 25,67%.
Rasio BOPO atau Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional Bank Mega secara konsisten terus menurun. BOPO Bank Mega berhasil turun dari 65,94% di tahun 2020 menjadi 56,06% di tahun 2021.
Yang sangat menarik, rasio BOPO Bank Mega ini dalam 7 tahun terakhir menunjukkan tren yang terus menurun dari 91,25% (2014) menjadi 56,06% (2021). Hal ini menunjukkan bahwa Bank Mega berhasil dalam melakukan efisiensi pada proses bisnisnya. Semakin rendahnya BOPO Bank Mega, menunjukkan semakin efisiennya Bank Mega dalam kegiatan operasional.
Dengan menilik deretan data di atas, bisa dikatakan bahwa krisis pandemi tidak lagi memukul kinerja Bank Mega yang melanjutkan kinerja prima 2020 dengan torehan angka yang lebih baik di sepanjang 2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA