SWIFT Jadi "Nuklir Keuangan" Bagi Rusia atau Gertak Sambal?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 March 2022 18:50
Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)
Foto: Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)

Jakarta, CNBC Indonesia - Invasi yang dilakukan Rusia ke Urkaina menuai respon berbagai negara. Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya memberikan berbagai macam sanksi ekonomi. Salah satunya, Rusia dikeluarkan dari dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).

SWIFT merupakan jaringan pengiriman pesan yang digunakan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengirim dan menerima informasi transaksi dengan cepat dan aman. Misalnya saja, instruksi pengiriman dana. Sistem ini juga yang berada di balik sebagian besar transaksi pembayaran dan pengiriman dana internasional.

SWIFT kini sudah mengkoneksikan lebih dari 11 ribu institusi keuangan di lebih dari 200 negara sehingga transaksi keuangan antar negara dapat dilaksanakan.

"Ini akan memastikan bahwa bank-bank ini terputus dari sistem keuangan internasional dan membahayakan kemampuan mereka untuk beroperasi secara global," tulis pernyataan bersama yang dirilis oleh Gedung Putih dilansir dari CNN.

Langkah tersebut dikatakan menjadi semacam senjata "nuklir keuangan" bagi Rusia.

Sergei Aleksashenko, mantan wakil gubernur bank sentral Rusia menyebutkan pasar finansial negaranya mengalami malapetaka akibat dikeluarkan dari SWIFT.

"Itu berarti akan ada malapetaka di pasar mata uang Rusia pada hari Senin," kata Aleksashenko kepada Reuters, Minggu (27/2).

Benar saja, saat perdagangan Senin dibuka, mata uang rubel langsung ambrol lebih dari 30% ke atas RUB 110/US$ yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah.

Ambruknya rubel tersebut membuat bank sentral Rusia mengambil langkah ekstrim dengan menaikkan suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%.

"Dampak situasi eksternal terhadap perekonomian Rusia telah berubah drastis. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat suku bunga simpanan berada di level yang memadai untuk menutup risiko depresiasi kurs dan inflasi," sebut keterangan tertulis bank sentral Rusia.

Langkah tersebut membuat rubel lebih stabil dan mengakhiri perdagangan Senin di RUB 101/US$, atau merosot 20%. Dan pada perdagangan hari ini, Selasa (1/3) rubel berbalik menguat nyaris 6,7% ke RUB 94,2/US$ pada pukul 16:42 WIB. 

Sebelum Rusia, kasus pemutusan hubungan suatu negara dari SWIFT sebenarnya pernah terjadi. Iran kehilangan akses ke SWIFT pada 2012 sebagai akibat dari saksi yang dijatuhkan dunia internasional atas program nuklir yang dimilikinya.

Iran bisa menjadi contoh seberapa besar dampak dikeluarkannya dari SWIFT. Melansir Forbes ekspor Iran langsung jeblok hingga 52% setelah dikeluarkan dari SWIFT.

Di tahun 2021, estimasi ekspor Rusia senilai US$ 490 miliar dengan impor US$ 304 miliar. Akses SWIFT sendiri banyak digunakan oleh sektor minyak dan gas.

Menurut bank sentral Rusia, ekspor minyak mentah berkontribusi sebesar 38% dari total ekspor atau senilai US$ 184 miliar, dan gas berkontribusi sebesar 12% atau senilai US$ 56 miliar. Total nilai ekspor keduannya sebesar US$ 240 miliar.

Jika melihat dampaknya ke Iran yang ekspornya jeblok hingga 50%, maka nilai ekspor migas Rusia bisa merosot menjadi US$ 120 miliar. Itu baru dari sektor migas, belum ekspor yang lainnya.

Selain jebloknya ekspor, rubel yang terpuruk membuat bank sentral Rusia menaikkan suku bunga hingga menjadi 20%, hal ini tentunya berisiko menekan perekonomian Rusia lebih dalam. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Amerika Serikat dan Jerman Juga Rugi Jika Rusia Diputus dari SWIFT 

Tetapi beberapa ahli juga berpendapat SWIFT memang akan berdampak terhadap Rusia, tetapi tidak semengerikan yang orang-orang bayangkan. Bahkan negara-negara lain juga akan dirugikan, sebab Rusia memiliki posisi yang strategis sebagai eksportir komoditas energi. 

"SWIFT adalah platform komunikasi, bukan sistem pembayaran finansial. Jika mereka mengeluarkan Rusia dari SWIFT, mereka mengeluarkannya dari jalur komunikasi utama di dunia finansial, tetapi Rusia bisa menggunakan alat sebelum adanya SWIFT, seperti telepon, teleks atau email untuk melakukan transaksi antar bank," kata Adam Smith, pengacara internasional yang berfokus pada perdagangan dan pernah bekerja dalam Pemerintahan Presiden Barrack Obama, sebagaimana diwartakan CBS News.

Alistair Milne, profesor ekonomi finansial Universitas Loughborough Inggris bahkan menyebutkan perekonomian Rusia akan rusak jika dikeluarkan dari SWIFT hanya mitos belaka.

Menurutnya dikeluarkannya dari Rusia dari SWIFT merupakan simbol penolakan terhadap aksi militer yang dilakukan, dan ada faktor lain yang membuat nilai tukar rubel terpuruk.

"Ini (dikeluarkannya Rusia dari SWIFT) adalah simbol penolakan global terhadap serangan militer yang dilakukan oleh Rusia, tidak lebih dari itu. Kebijakan lain, yakni memblokir bank sentral Rusia dari transaksi internasional yang merusak kepercayaan terhadap rubel," rulis Milne sebagaimana dilansir The Conversation.

Amerika Serikat dan sekutu memang juga memberikan sanksi bagi bank sentral Rusia sehingga tidak bisa mengakses cadangan devisanya yang ditempatkan di luar negeri.

Cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.

Artinya, bank sentral Rusia sulit untuk melakukan intervensi ketika rubel jeblok.

Milne yang sudah banyak membuat makalah mengenai SWIFT mengatakan pada tahun 2012 ketika Iran diputus dari platform tersebut, perbankan di Iran masih bisa melakukan transaksi internasional dengan menggunakan perbankan di negara ketiga yang bersedia dan mendapatkan margin dari transaksi tersebut.

Menurut Milne, SWIFT memberikan informasi dan mendukung teknologi serta standarisasi, tetapi tidak punya peran dalam mengeksekusi pembayaran. Ia mencontohkan perusahaan energi Rusia, Gazprom bahkan tidak terlalu tergantung dengan SWIFT. Saat trader membeli minyak atau gas dari Gazprom pembayaran baik itu menggunakan dolar AS maupun euro dilakukan ke akun bank yang dimiliki perusahaan energi Rusia.

"Jadi jika niatnya memberikan sanksi untuk memblokir pembayaran gas Rusia, alat yang digunakan seharusnya bukan SWIFT, tetapi sanksi harus diberikan ke Gazprom dan fasilitas perbankannya," kata Milne.

Apalagi untuk saat ini masih belum jelas bagaimana SWIFT akan diterapkan. Pejabat di Gedung Putih mengatakan Uni Eropa akan memfinalisasi secara spesific bank-bank yang akan dikeluarkan dari SWIFT.

Artinya, ada kemungkinan tidak semua bank akan dikeluarkan, sebab Amerika Serikat hingga Eropa juga akan kena dampak buruknya. Menurut Russian National Swift Association, saat ini ada sekitar 300 bank dan institusi yang menggunakan SWIFT. Rusia juga menjadi negara pengguna SWIFT terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

"Amerika Serikat dan Jerman menjadi dua negara yang paling dirugikan jika Rusia terputus dari SWIFT, sebab keduanya paling sering menggunakan SWIFT untuk berkomunikasi dengan perbankan Rusia," tulis Maria Shagina ahli sanksi internasional, dalam sebuah artikel untuk Carnegie Moscow Center tahun lalu, sebagaimana dikutip CBC, Minggu (27/2).

Selain itu, pasokan minyak mentah dan gas yang terganggu dari Rusia berpotensi membuat harga kedua komoditas energi tersebut meroket. Hal ini berisiko membuat inflasi semakin terakselerasi, dan bisa berdampak buruk bagi perekonomian Amerika Serikat dan Eropa yang sedang menghadapi masalah tingginya inflasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular