Fed Bisa Kerek Bunga 50 Bps di Maret, tapi Rusia Bikin Rumit!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 February 2022 15:06
Ilustrasi/Perang Ukraina Rusia
Foto: Ilustrasi/Perang Ukraina Rusia

Invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina langsung membuat harga komoditas meroket. Minyak mentah jenis Brent misalnya yang melesat ke atas US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014.

Harga gas alam hingga batu bara juga ikut meroket.

Fed Waller juga melihat hal tersebut sebagai ancaman bagi pereknomian AS. Di saat inflasi sedang tinggi, kenaikan harga komoditas dapat mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi, dan Waller mengatakan The Fed kemungkinan harus mempertimbangkan merubah rencana menghentikan era kebijakan moneter longgar untuk lebih mendukung perekonomian.

The Fed memang sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini. Program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan segera berakhir. Kemudian suku bunga langsung dinaikkan, dan nilai neraca (balance sheet) juga akan segera dikurangi.

Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan QE senilai US$ 120 miliar per bulan. Nilai QE tersebut sudah dikurangi (tapering) sejak bulan November lalu, dan akan berakhir pada Maret nanti.

QE pertama kali dilakukan pada Maret 2020, artinya sudah berlangsung selama 2 tahun yang membuat neraca The Fed melonjak menjadi nyaris US$ 9 triliun.

Besarnya nilai neraca tersebut yang akan mulai dikurangi oleh The Fed, artinya obligasi yang dimiliki akan dilepas sehingga menyerap kembali likuiditas.

Dukungan kebijakan moneter ke perekonomian bisa berkurang drastis di tahun ini. Hal ini tentunya berisiko menekan pertumbuhan ekonomi, apalagi saat terjadi masalah geopolitik.

Ahli strategi pasar JP Morgan Aset Managament, Hugh Gimber, mengatakan konflik di Ukraina akan lebih memberikan tekanan bagi bank sentral, dan risiko kesalahan mengambil kebijakan menjadi semakin besar.

"Kita tahu, memasuki tahun 2022 bank sentral menghadapi situasi yang sulit untuk bisa mengambil kebijakan yang seimbang. Terlalu cepat menaikkan suku bunga akan berdampak pelambatan ekonomi yang dalam, sebaliknya terlalu lambat menaikkan suku bunga inflasi dalam jangka menengah bisa lepas kendali," kata Gimber kepada CNBC International, Selasa (22/2).

Gimber menambahkan invasi yang dilakukan Rusia bisa membuat bank sentral semakin pusing, sebab harga energi akan terus naik dan mendorong inflasi. Menurutnya, bank sentral akan lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada secara agresif menaikkan suku bunga guna melandaikan inflasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular