Fed Bisa Kerek Bunga 50 Bps di Maret, tapi Rusia Bikin Rumit!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 February 2022 15:06
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga pada bulan depan. Beberapa pejabat elit The Fed sudah angkat bicara terkait kemungkinan seberapa besar kenaikan suku bunga akan dilakukan.

Beberapa pejabat melihat The Fed tidak perlu menaikkan suku bunga 50 basis poin (bps), yang lainnya menyatakan hal tersebut perlu untuk meredam inflasi yang saat ini sebesar 7,5%, tertinggi dalam 4 dekade terakhir.

Terbaru, Dewan Gubernur The Fed, Christoper Waller, yang mendukung kenaikan sebesar 50 bps. Menurutnya hal ini bisa dilakukan agar suku bunga bisa mencapai 1% - 1,25% di awal musim panas (awal Juli).

"Saya memperkirakan inflasi masih akan tinggi dan hanya akan menunjukkan penurunan yang moderat dalam beberapa bulan ke depan," kata Waller saat berbicara di Universitas Santa Barbara sebagaimana dilansir AFP, Kamis (24/2).

"Oleh karena itu, saya percaya suku bunga harus berada di kisaran 1% - 1,25% pada awal musim panas" tambahnya.

Suku bunga The Fed saat ini sebesar 0% - 0,25%, dan biasanya kenaikan dilakukan sebesar 25 bps. Tetapi melihat jadwal rapat kebijakan moneter The Fed, sebelum bulan Julia ada 3 kali pertemuan, Maret, Mei dan Juni.

Sehingga untuk mencapai suku bunga 1% - 1,25% pada awal Juli perlu kenaikan 50 basis poin, sebanyak satu kali dan diperkirakan pada bulan depan.

Sebelum Waller, Presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard, menjadi yang paling kencang menyatakan akan memilih untuk menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan. Ia juga berpandangan suku bunga perlu mencapai 1% - 1,25% di awal Juli.

Dua pekan lalu, pasar juga melihat adanya probabilitas lebih dari 90% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin, tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group.

fedwatchFoto: CME Group

Tetapi saat ini, probabilitas tersebut jauh menurun, menjadi 17,2% saja. Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin bulan depan, dengan probabilitas sebesar 82,8%.

Hal ini tidak lepas dari banyaknya pejabat The Fed yang tidak mendukung kenaikan yang agresif, ditambah lagi dengan invasi Rusia ke Ukraina yang bisa memberikan dampak ke perekonomian.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Invasi Rusia Bikin Bank Sentral Dalam Situasi Rumit

Invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina langsung membuat harga komoditas meroket. Minyak mentah jenis Brent misalnya yang melesat ke atas US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014.

Harga gas alam hingga batu bara juga ikut meroket.

Fed Waller juga melihat hal tersebut sebagai ancaman bagi pereknomian AS. Di saat inflasi sedang tinggi, kenaikan harga komoditas dapat mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi, dan Waller mengatakan The Fed kemungkinan harus mempertimbangkan merubah rencana menghentikan era kebijakan moneter longgar untuk lebih mendukung perekonomian.

The Fed memang sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini. Program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan segera berakhir. Kemudian suku bunga langsung dinaikkan, dan nilai neraca (balance sheet) juga akan segera dikurangi.

Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan QE senilai US$ 120 miliar per bulan. Nilai QE tersebut sudah dikurangi (tapering) sejak bulan November lalu, dan akan berakhir pada Maret nanti.

QE pertama kali dilakukan pada Maret 2020, artinya sudah berlangsung selama 2 tahun yang membuat neraca The Fed melonjak menjadi nyaris US$ 9 triliun.

Besarnya nilai neraca tersebut yang akan mulai dikurangi oleh The Fed, artinya obligasi yang dimiliki akan dilepas sehingga menyerap kembali likuiditas.

Dukungan kebijakan moneter ke perekonomian bisa berkurang drastis di tahun ini. Hal ini tentunya berisiko menekan pertumbuhan ekonomi, apalagi saat terjadi masalah geopolitik.

Ahli strategi pasar JP Morgan Aset Managament, Hugh Gimber, mengatakan konflik di Ukraina akan lebih memberikan tekanan bagi bank sentral, dan risiko kesalahan mengambil kebijakan menjadi semakin besar.

"Kita tahu, memasuki tahun 2022 bank sentral menghadapi situasi yang sulit untuk bisa mengambil kebijakan yang seimbang. Terlalu cepat menaikkan suku bunga akan berdampak pelambatan ekonomi yang dalam, sebaliknya terlalu lambat menaikkan suku bunga inflasi dalam jangka menengah bisa lepas kendali," kata Gimber kepada CNBC International, Selasa (22/2).

Gimber menambahkan invasi yang dilakukan Rusia bisa membuat bank sentral semakin pusing, sebab harga energi akan terus naik dan mendorong inflasi. Menurutnya, bank sentral akan lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada secara agresif menaikkan suku bunga guna melandaikan inflasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular