Newsletter

Akankah IHSG Cetak "All Time High" Baru Lagi, Tembus 7.000?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 February 2022 06:10
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri terpantau cerah bergairah pada pekan lalu. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak positif sedangkan harga obligasi pemerintah juga terpantau menguat secara mayoritas.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 1,13% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada Jumat (18/02/2022) lalu, IHSG ditutup melesat 0,84% ke level 6.892,818 bahkan lagi-lagi mencetak rekor penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) pada pekan lalu.

Meski melesat dan mencetak ATH baru, tetapi nilai transaksi bursa pada pekan lalu malah turun menjadi Rp 62,17 triliun, dari pekan sebelumnya sebesar Rp 67,99 triliun. Volume perdagangan mencapai 131,36 miliar dan ditransaksikan sebanyak 7,83 juta kali.

Tak hanya nilai transaksinya yang turun, investor asing juga mencatatkan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 131 miliar pada pekan lalu.

Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, kinerja rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu juga terpantau cukup positif. Meskipun kini masih berada di kisaran level Rp 14.300.

Menurut data Refinitiv, rupiah menguat 0,17% ke posisi Rp 14.325/US$ secara point-to-point pada pekan lalu. Namun pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah tercatat melemah tipis 0,07% dihadapan sang greenback (dolar AS).

Tak hanya di IHSG dan rupiah, harga obligasi pemerintah RI juga secara mayoritas menguat atau mengalami penurunan imbal hasil (yield) sepanjang pekan lalu. Mengacu pada data Refinitiv, hanya SBN bertenor lima tahun dan 30 tahun yang mengalami pelemahan harga dan kenaikan yield-nya.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara turun tipis 0,1 basis poin (bp) ke level 6,502% pada pekan lalu. 

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Pasar keuangan Tanah Air yang cenderung positif terjadi di tengah kondisi eksternal yang masih belum stabil. Pekan lalu, memang sempat tersiar kabar bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin akan menarik pasukkannya dari Ukraina dan pejabat Rusia menyebut bahwa "latihan militer" yang dilakukan di perbatasan Ukraina telah selesai.

Akan tetapi kondisi kembali memburuk karena Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) dan Amerika Serikat (AS) tidak melihat adanya pengurangan pasukan yang signifikan, malah sebaliknya. Terbaru Presiden AS, Joe Biden meyakini bahwa Putin telah membuat keputusan untuk menginvasi Ukraina.

Sementara itu dari AS, risalah pertemuan tanggal 25-26 Januari menyebutkan Pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sepakat "jika inflasi tidak turun seperti yang mereka harapkan, akan tepat bagi komite untuk menghapus akomodasi kebijakan lebih cepat daripada yang mereka antisipasi saat ini".

Ketika The Fed menaikkan suku bunga antara tahun 2015 dan 2018, hal tersebut dilakukan secara bertahap-dan tidak pernah lebih dari sekali setiap kuartal. Jika kenaikan suku bunga dilakukan setiap pertemuan The Fed - kira-kira enam minggu sekali - ini merupakan kenaikan paling agresif sejak tahun 2006.

Risalah juga menunjukkan para pejabat melanjutkan pertimbangan mereka tentang seberapa agresif kebijakan untuk mengecilkan portofolio aset US$ 9 triliun mereka, tetapi tidak memberikan banyak petunjuk baru tentang bagaimana hal itu mungkin terjadi akhir tahun ini.

Langkah tersebut merupakan cara lain bagi The Fed untuk memperketat kondisi keuangan guna mendinginkan perekonomian.

Di lain sisi, kasus virus corona (Covid-19) juga masih sangat tinggi, yang mana pekan lalu terdapat penambahan setidaknya 40 ribu kasus setiap harinya. Bahkan pada Rabu lalu sempat menyentuh rekor kasus harian tertinggi di angka 64.718 kasus baru.

Meski kondisi eksternal tidak mendukung, tetapi kabar baik datang dari dalam negeri. Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus di tahun 2021 begitu juga dengan transaksi berjalan (current account) yang sebelumnya selalu defisit dalam satu dekade terakhir.

"Perkembangan NPI secara keseluruhan tahun 2021 mencatat surplus tinggi, sehingga ketahanan sektor eksternal tetap terjaga. Surplus NPI tahun 2021 tercatat sebesar 13,5 miliar dolar AS, jauh meningkat dibandingkan capaian surplus pada tahun sebelumnya sebesar 2,6 miliar dolar AS," tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat.

Pos transaksi berjalan mencatat surplus US$ 3,3 miliar atau 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2021. Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Jika dilihat secara kuartalan, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 1,4 milar (0,4% dari PDB) di kuartal IV-2021, lebih dari dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos NPI lainnya, yakni Transaksi Modal dan Finansial.

Surplus transaksi berjalan bisa membuat pergerakan rupiah lebih stabil, yang tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia.

 

Beralih ke AS, kinerja bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau mengecewakan, karena sentimen global yang masih cenderung negatif baik dari ketegangan politik Rusia-Ukraina atau pengetatan kebijakan moneter The Fed.

Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 1,41%, S&P 500 merosot 1,2%, dan Nasdaq Composite ambruk 1,76%.

Pada perdagangan Jumat pekan lalu, ketiga indeks utama di Wall Street tersebut juga ditutup terkoreksi. Dow Jones melemah 0,68% ke level 34.079,18, S&P 500 merosot 0,72% ke 4.348,90, dan Nasdaq ambrol 1,23% ke 13.548,07.

Pasar di AS masih merespons negatif dari ketegangan antara Rusia dengan Ukraina, di mana ketegangan politik kedua negara tersebut masih terjadi meski pejabat Rusia menyebut akan menarik pasukkannya dari Ukraina dan "latihan militer" yang dilakukan di perbatasan Ukraina telah selesai.

Bahkan, media yang dikendalikan pemerintah Ukrainia dan Rusia pada Jumat lalu saling melempar tuduhan mengenai pelanggaran kesepakatan gencatan senjata.

Ukraina pada Kamis lalu menuduh kelompok separatis pro-Rusia menyerang desa di perbatasan. Sementara di AS, Menteri Luar Negeri Antony Blinken di depan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai situasi di Ukraina adalah "momen yang berbahaya."

"Pasar cenderung bereaksi berlebih merespons kejadian geopolitis," tutur analis Credit Suisse Andrew Garthwaite dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.

Selain dari ketegangan geopilitik yang belum mereda, investor juga merespons negatif dari pernyataan Presiden The Fed St. Louis James Bullard, yang menilai aksi The Fed kedepannya akan lebih agresif, mengingat bahwa inflasi bisa tak terkendali jika tidak ada kenaikan suku bunga acuan.

Risalah juga menunjukkan para pejabat melanjutkan pertimbangan mereka tentang seberapa agresif kebijakan untuk mengecilkan portofolio aset US$ 9 triliun mereka, tetapi tidak memberikan banyak petunjuk baru tentang bagaimana hal itu mungkin terjadi akhir tahun ini.

Langkah tersebut merupakan cara lain bagi The Fed untuk memperketat kondisi keuangan guna mendinginkan perekonomian.

Di lain sisi, dari data ketenagakerjaan, di mana Departemen Tenaga Kerja merilis klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 Februari, yakni berada di angka 248.000, atau sedikit lebih buruk dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 218.000.

Selain itu, Departemen Tenaga Kerja AS juga merilis data penjualan harga grosir periode Januari 2022 pada pekan lalu, di mana data ini melonjak 1% dan mendorong kenaikan secara tahunan sebanyak 9.7%.

Adapun penjualan ritel Negeri Paman Sam pada Januari tercatat melonjak 3,8% atau jauh lebih baik dari ekspektasi pasar yang memprediksikan adanya kenaikan sebesar 2,1%, setelah sempat merosot 1,9% di Desember.

Pada pekan ini, investor masih akan memantau perkembangan ketegangan geopolitik antara Rusia dengan Ukraina, di mana hingga kini, kedua negara yang dahulunya merupakan satu negara Uni Soviet tersebut masih bergejolak.

Sebagai informasi, pemicu konflik ini adalah keinginan Ukraina yang ingin bergabung dengan aliansi militer NATO.

Rusia yang tidak terima memilih untuk melakukan manuver berupa menggerakkan pasukan militernya ke perbatasan Ukraina.

Presiden AS, Joe Biden bahkan mengatakan bahwa Rusia bakal menginvasi Ukraina dalam beberapa hari ke depan meski klaim tersebut ditepis oleh Negeri Beruang Merah.

Ketegangan masih berpotensi berlanjut. Jika perkembangannya memburuk tentu saja akan berpengaruh ke pergerakan aset keuangan di pasar.

Saat ketegangan meningkat, aset-aset minim risiko (safe haven) seperti emas bahkan harganya naik hingga 2% pada pekan lalu. Sementara aset-aset keuangan growth asset cenderung tertekan parah. Kripto utamanya Bitcoin ambles sampai 6% pada pekan lalu.

Karena Rusia salah satu produsen energi dunia, ketegangan ini juga membuat harga energi seperti gas dan minyak mentah tetap berada di level yang tinggi.

Tingginya risiko geopolitik akan cenderung membuat investor mengurangi aset-aset berisiko dan beralih ke aset safe haven seperti komoditas dan obligasi negara. Setidaknya tren ini masih akan terus berlanjut sampai ketegangan benar-benar turun.

Selain dari risiko ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, inflasi global juga akan masih menjadi perhatian pelaku pasar pada pekan ini.

Beberapa negara yang diketahui alami lonjakan inflasi adalah AS, Inggris, Argentina, Brasil, Turki, Meksiko, Rusia dan lainnya.

Di AS, per Januari 2022, inflasi AS meningkat 7,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan menjadi level tertinggi sejak 4 dekade terakhir.

Secara persentase, bahan bakar minyak naik paling tinggi di Januari. Melonjak 9,5% dari 46,5% (YoY). Kenaikan juga didorong biaya kendaraan, tempat tinggal. Biaya makanan sendiri melonjak 0,9% untuk bulan Januari dan naik 7% selama setahun terakhir.

Hal senada juga terjadi pada Inggris. Pada Januari 2022, laju inflasi di Inggris mencapai 5,5%, atau yang tertinggi sejak Maret 1992.

Tingginya harga energi menjadi faktor terbesar kenaikan inflasi di Inggris. Pakaian dan alas kaki juga mendorong laju inflasi naik, meskipun ada penurunan harga-harga barang tradisional.

Kenaikan inflasi di Inggris juga diyakini akan terus terjadi, bahkan mencapai puncak 7,25% di April 2022. Ini terjadi karena adanya kenaikan tarif energi untuk rumah tangga sebesar 54%.

Terbaru di Uni Eropa (UE). Inflasi juga mencapai rekor tertinggi sejak pembentukan zona Uni Eropa. Pertumbuhan harga konsumen telah meningkat menjadi lebih dari 5% untuk kawasan secara keseluruhan. Lituania misalnya mencatat inflasi dua digit 12,2% sementara Italia mencatat inflasi 5,3%.

Jerman mencatat inflasi 5,1% tertinggi dalam 30 tahun sedangkan Prancis 3,3%. Kenaikan harga energi juga manjadi salah satu faktor.

"Dengan lonjakan inflasi mengejutkan pada Januari, pasar terus khawatir tentang The Fed yang agresif," kata ahli strategi alokasi aset di LPL Financial, Barry Gilbert, dikutip AFP.

Selain itu, risiko pandemi Covid-19 juga masih akan jadi fokus pasar. Meski kasus Covid-19 akibat varian Omicron cenderung turun, tetapi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) masih tetap memberikan wanti-wanti kalau varian Omicron juga terus bermutasi.

Ilmuwan WHO, Maria Van Kerkhove mengatakan varian Omicron telah bermutasi dan memunculkan varian baru yakni BA.2 yang lebih menular dari varian sebelumnya.

Kini varian BA.2 telah merebak di Denmark dan Inggris sehingga memunculkan risiko penyebaran yang lebih luas. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan karena kasus Covid-19 masih bisa naik sewaktu-waktu.

Melihat risiko global yang masih tinggi, ada kemungkinan investor akan cenderung wait and see di pekan ini.

Sementara itu pada hari ini, investor akan memantau pengumuman kebijakan suku bunga acuannya bank sentral China (People Bank of China/PBoC) terbaru.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan PBoC tetap akan mempertahankan suku bunga acuannya, di mana suku bunga pinjaman bertenor 1 tahun diperkirakan tetap di level 3,7%, sedangkan suku bunga pinjaman berjatuh tempo 5 tahun juga tetap di level 4,6%.

Selain dari kebijakan suku bunga bank sentral Negeri Panda, beberapa data aktivitas manufaktur periode Februari 2022 di beberapa negara akan dirilis pada hari ini.

Data pembacaan awal aktivitas manufaktur (Purchasing Manager's Index/PMI) periode Februari 2022 yang akan dirilis pada hari ini yakni PMI manufaktur Australia, Zona Euro, Jepang, dan Inggris.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data awal PMI manufaktur Australia periode Februari 2022 (05:00 WIB),
  2. Rilis data awal PMI manufaktur Jepang periode Februari 2022 (07:30 WIB),
  3. Keputusan suku bunga acuan bank sentral China (08:15 WIB),
  4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (tentatif),
  5. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (10:00 WIB),
  6. Rilis data awal PMI manufaktur Zona Euro periode Februari 2022 (16:00 WIB),
  7. Rilis data awal PMI manufaktur Inggris periode Februari 2022 (16:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY)

3,69%

Inflasi (Januari 2022 YoY)

2,18%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2022)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

4,85% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021 YoY)

0,3% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2021 YoY)

US$ 13,5 miliar

Cadangan Devisa (Januari 2022)

US$ 141,34 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular