Internasional

Waspada! Ada Kabar Kurang Sedap Dari Risalah Rapat The Fed

Feri Sandria, CNBC Indonesia
17 February 2022 16:35
Federal Reserve Chair Jerome Powell removes his glasses as he listens to a question during a news conference after the Federal Open Market Committee meeting, Wednesday, Dec. 11, 2019, in Washington. The Federal Reserve is leaving its benchmark interest rate alone and signaling that it expects to keep low rates unchanged through next year. (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pejabat The Federal Reserve pada pertemuan bulan lalu membahas percepatan jadwal kenaikan suku bunga, dimulai dengan peningkatan pertama yang telah diantisipasi akan dilakukan pada bulan Maret.

Rencana percepatan ini terjadi di tengah keresahan yang semakin besar terkait tingkat inflasi tinggi yang masih meneror ekonomi AS.

Pejabat The Fed sepakat bahwa "jika inflasi tidak turun seperti yang mereka harapkan, akan tepat bagi komite untuk menghapus akomodasi kebijakan lebih cepat daripada yang mereka antisipasi saat ini," kata risalah pertemuan 25-26 Januari, yang dirilis Rabu (16/2).

Ketika The Fed menaikkan suku bunga antara tahun 2015 dan 2018, itu dilakukan secara bertahap dan tidak pernah lebih dari sekali setiap kuartal.

Berdasarkan prospek ekonomi yang dinilai, sebagian besar pejabat bulan lalu "menyarankan bahwa laju kenaikan yang lebih cepat ... daripada pada periode pasca 2015 kemungkinan akan dibenarkan," kata risalah tersebut.

Diskusi tersebut menunjukkan para pejabat bank sentral AS siap untuk menaikkan suku bunga secara berturut-turut pada pertemuan kebijakan selanjutnya, yang terjadi kira-kira setiap enam minggu, sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sejak 2006.

Hal ini bisa mengatur serangkaian kenaikan suku bunga pada bulan Maret, Mei dan Juni.

"Ini akan menjadi tahun di mana kita terus menjauh dari kebijakan moneter yang sangat akomodatif yang kita terapkan untuk menghadapi dampak ekonomi dari pandemi," kata pimpinan The Fed Jerome Powell pada konferensi pers setelah pertemuan terakhir bulan lalu.

Risalah juga menunjukkan para pejabat melanjutkan pertimbangan mereka tentang seberapa agresif kebijakan untuk mengecilkan portofolio aset US$ 9 triliun mereka, tetapi tidak memberikan banyak petunjuk baru tentang bagaimana hal itu mungkin terjadi akhir tahun ini.

Langkah tersebut merupakan cara lain bagi The Fed untuk memperketat kondisi keuangan guna mendinginkan perekonomian.

Pejabat The Fed bulan lalu setuju untuk menghentikan program stimulus pembelian obligasi era pandemi pada awal Maret.

Risalah juga menunjukkan pejabat The Fed puas bulan lalu dengan bagaimana pasar keuangan menafsirkan sinyal potensi kenaikan suku bunga. Tetapi perdebatan The Fed tentang seberapa cepat menaikkan suku bunga telah meningkat karena beberapa data baru telah dirilis sejak saat itu.

Departemen Tenaga Kerja awal bulan ini melaporkan kenaikan pekerjaan yang sangat besar pada Januari meskipun ada lonjakan infeksi karena varian Omicron. Pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja juga melaporkan bahwa inflasi di bulan Januari naik ke level tertinggi selama empat dekade.

Dan pada hari Rabu, Departemen Perdagangan melaporkan bahwa penjualan ritel, ukuran pengeluaran di toko, online dan di restoran, naik 3,8% yang disesuaikan secara musiman pada Januari dari bulan sebelumnya, kenaikan bulanan terkuat sejak Maret lalu.

Hingga pertemuan kebijakan the Fed berikutnya, 15-16 Maret, diskusi masih terus berlangsung dengan beberapa pejabat mendukung kenaikan dimulai dengan peningkatan setengah poin persentase (0,5%) atau lebih besar daripada langkah standar seperempat poin persentase (0,25%).

The Fed belum menaikkan suku bunga secara agresif sebanyak setengah poin persentase sejak tahun 2000.

Pada hari Senin, Presiden Fed St. Louis James Bullard menyarankan dalam sebuah wawancara di CNBC bahwa peningkatan yang lebih besar mungkin diperlukan.

Risalah tersebut tidak secara langsung menyebutkan kemungkinan seperti itu tetapi mengatakan para pejabat "terus menekankan bahwa menjaga fleksibilitas untuk menerapkan penyesuaian kebijakan yang tepat berdasarkan pertimbangan manajemen risiko harus menjadi prinsip utama dalam melakukan kebijakan di lingkungan yang sangat tidak pasti saat ini."

Pejabat harus menyeimbangkan apakah kenaikan suku bunga di muka yang lebih besar akan memberi mereka fleksibilitas yang lebih besar untuk memperlambat kenaikan suku bunga akhir tahun ini jika inflasi menurun dibandingkan dengan potensi risiko memicu timbulnya ekspektasi pasar akan pergerakan yang lebih besar dan berpotensi lebih mengganggu.

Beberapa pejabat khawatir bahwa "penyelarasan besar-besaran harga aset dapat berkontribusi pada penurunan di masa depan," kata risalah tersebut.

Pejabat lain mengatakan risiko pergeseran tiba-tiba dalam sentimen pasar karena perubahan dalam pandangan The Fed "dapat dikurangi melalui komunikasi yang jelas dan efektif dari penilaian komite tentang ... jalur yang tepat untuk kebijakan moneter," kata risalah tersebut.

Bagaimana persisnya The Fed mengambil langkah selanjutnya tentu akan bergantung pada Powell, yang belum berbicara secara terbuka sejak konferensi pers bulan lalu.

Ada kemungkinan bahwa dia akan menyampaikan testimoni wajib dua kali setahun kepada Kongres pada awal Maret, yang akan memungkinkan dia untuk menuntun ekspektasi menuju pertemuan pejabat bulan Maret.

Pada hari Rabu, pasar berjangka suku bunga memproyeksikan peluang hampir 80% bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga ke kisaran antara 1,75% dan 2% tahun ini, menurut CME Group, yang akan setara dengan menaikkan suku bunga sebesar seperempat poin persentase di semua pertemuan kebijakan yang dijadwalkan tahun ini.

Pejabat mengatakan pada pertemuan bulan lalu bahwa inflasi berjalan lebih tinggi dari yang mereka harapkan dan lebih lama dari yang diantisipasi. Para pejabat berharap inflasi turun karena masalah pasokan mereda dan permintaan bergeser dari barang ke jasa, di mana inflasi tidak terlalu ekstrem.

Tetapi pada pertemuan bulan lalu mereka menyebutkan banyak risiko yang dapat menjaga inflasi tetap tinggi, termasuk karena kenaikan sewa dan pertumbuhan upah yang terus-menerus yang memicu siklus inflasi.

Mereka juga menunjukkan risiko bahwa inflasi meningkat karena faktor-faktor di luar kendali The Fed, seperti invasi Rusia ke Ukraina yang mengacaukan pasar energi atau penundaan pengiriman yang diperburuk oleh penguncian yang didorong oleh pandemi di Asia.

Staf The Fed bulan lalu memproyeksikan bahwa inflasi, menggunakan ukuran pilihan bank sentral (PCE Indec), akan melambat menjadi 2,6% tahun ini, turun dari 5,8% Desember lalu kata risalah tersebut.

Prediksi tersebut juga memproyeksikan inflasi menurun lebih lanjut ke 2% tahun depan. Sebelumnya, pada pertemuan pejabat The Fed bulan Desember, proyeksi tahun ini turun menjadi 2,1%.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(fsd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dadah Uang Murah...

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular