Pengumuman! Puncak Gelombang Ketiga Pandemi Sudah Lewat

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 February 2022 06:45
Pemeriksaan Covid-19
Foto: Pemeriksaan Covid-19 (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah optimistis bahwa Indonesia kini telah memasuki periode puncak gelombang ketiga penyebaran Covid-19. Sejauh ini, data dan tren memang mengarah menuju ke sana.

Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pad Senin (14/2/2022) menyebutkan tren penambahan kasus virus corona (Covid-19) di Jakarta mulai melewati puncak gelombang ketiga Covid-19.

"Berita positif, tren kasus di Jakarta, menunjukkan data mulai lewati puncaknya, baik kasus harian, kasus aktif, maupun rawat inap mulai turun," kata dia, dalam konferensi pers mengenai hasil Rapat Terbatas PPKM, Senin (14/2).

Meski demikian, lanjut dia, penambahan kasus masih terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Jawa Barat meski masih di bawah puncak gelombang kedua (akibat varian Delta).

Jika melihat pada data yang ada, optimisme pemerintah memang beralasan. Betul bahwa kasus Covid-19 varian omicron terus meningkat di Indonesia, sebagaimana terjadi di nyaris seluruh negara di dunia. Namun, DKI memang membentuk kurva puncak yang kini mengarah turun.

covidSumber: Kemenkes

Termasuk DKI, Kemenkes mencatat ada sepuluh provinsi yang telah mencapai puncaknya. Lima provinsi di Jawa, yakni Bali, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, dan sisanya di luar Jawa meliputi Kalimantan Tengah, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Papua.

Pola kurva di 10 provinsi tersebut serupa dengan grafik gelombang ketiga pandemi (varian Omicron) yang terjadi di negara-negara maju. Secara rata-rata, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat perlu 46 hari bagi virus Omicron untuk mencapai puncaknya.

Perhitungan tersebut merupakan angka median dari gelombang Omicron di tiga negara yakni Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat (AS). Jika dibandingkan dengan varian Delta yang perlu 59 hari mencapai titik puncak, Omicron memang lebih gesit alias lebih cepat menyentuh puncak.

Dari sisi jumlah kasus pun jauh lebih banyak Omicron dibandingkan dengan Delta. Jumlah mereka yang terkonfirmasi positif pada puncak kasus Omicron mencapai 4,8 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan Delta.

Meski demikian, jumlah yang harus dirawat inap tatkala gelombang Omicron menyerang ternyata hanya separuh dari varian Delta. Hal ini membuktikan bahwa Omicron memang tidak seganas Delta, sehingga tak berujung pada kolapsnya layanan kesehatan.

Dalam seminggu terakhir, menurut catatan Kemenkes, jumlah mereka yang masuk rawat inap hanya 243 orang, atau lebih kecil jika dibandingkan dengan mereka yang berhasil keluar (sebanyak 361 orang).

Betul bahwa Omicron lebih mudah menular dan membuat lebih banyak orang terjangkiti. Tren perawatan pasien memang meningkat selama musim puncak Omicron, di mana ada 27.009 orang pasien yang dirawat (per 13 Februari). Sebanyak 77% dari mereka terkonfirmasi Covid-19.

Namun yang tak bisa dinafikan adalah fakta bahwa 65% dari mereka yang masuk ke rumah sakit tersebut merupakan pasien tak bergejala atau bergejala tapi ringan. Sebanyak 31% lainnya dinyatakan bergejala sedang, 3% bergejala berat, dan 1% kritis.

Bahkan, 60% dari mereka dinyatakan tidak memerlukan terapi oksigen. Jika menilik sepak terjang virus Covid-19 sebelumnya yang memicu gagal pernafasan para korbannya, maka Omicron bisa dibilang sebagai Covid-19 yang ramah.

Bukti lain mengenai minimnya tingkat kegawatan Omicron terlihat dari jumlah korban jiwa yang menurut data Kemenkes saat ini lebih rendah jika dibandingkan dengan gelombang kedua (varian Delta).

Jika puncak gelombang kedua varian Delta (27 Juli 2021) memicu kematian hingga 2.069 jiwa, maka pucak gelombang Omicron saat ini berujung pada angka kematian hanya 1.090 korban jiwa, atau sekitar separuhnya.

Itupun angka kematian hanya terjadi pada mereka yang memiliki situasi khusus, yakni 48% di antqara korban yang meninggal di gelombang ketiga saat ini memiliki komorbid, 49% dari mereka merupakan lansia, dan 68% di antaranya belum divaksin secara lengkap.

sSumber: Kemenkes

Dengan perkembangan demikian, maka tidak heran jika tingkat okupansi rumah sakit nasional masih aman, termasuk juga ketersediaan tempat tidur isolasi dan fasilitas gawat darurat untuk pasien Covid-19.

Semakin membaiknya fasilitas perawatan yang diberikan oleh pemerintah juga membantu menurunnya korban jiwa di gelombang ketiga ini, seperti layanan telemedisin untuk melayani obat dan menjangkau penderita Covid-19.

Dari 368.039 kasus konfirmasi positif, 94% di antaranya menerima bantuan pendampingan melalui layanan whatsap, sementara 38% lainnya dihubungi melalui layanan telemedisin. Pendampingan cepat demikian memungkinkan penanganan yang lebih terukur

Di sisi lain, pengantaran obat pun semakin cepat, di mana 85% obat sudah diterima di tangah penderita Covid-10 maksimal H 1. Ini jauh lebih baik dari sebelumnya yang hanya 55% penderita Covid-19 saja yang menerima obat H 1.

Faktor terakhir yang membantu percepatan dan perbaikan penanganan Covid-19 adalah ketersediaan obat Covid-19 di 10 provinsi, di mana stok obat di banyak tempat memiliki rasio di atas 100% dari kebutuhan yang ada, dengan angka rata-rata sebesar 229%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rekor! Sembuh dari Covid di RI Mencapai 61.361 Kasus

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular