Fed Bakal Kerek Suku Bunga 50 Bps di Maret, 'Senyumin' Aja!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2022 12:10
Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi yang semakin tinggi di Amerika Serikat (AS) membuat bank sentralnya (Federal Reserve/The Fed) berpeluang menaikkan suku bunga hingga 50 basis poin (bps) di bulan Maret.

Namun, tak perlu kaget. Kenaikan sebesar 50 bps dan disusul kenaikan-kenaikan berikutnya di tahun ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh pelaku pasar. Bahkan, Bank Indonesia (BI) juga sudah memperkirakan hal yang sama.

Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tumbuh 7,5% year-on-year (yoy) di bulan Januari, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7% (yoy) juga ekspektasi Reuters sebesar 7,3% (yoy).

Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, dan kembali menguatkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikan suku bunga dengan agresif di tahun ini dan kemungkinan sebesar 50 basis poin di bulan Maret nanti.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 88,9% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan. Dan probabilitas kenaikan 25 basis poin hanya 11,1% saja.

fedFoto: CME FedWatch

Artinya, pasar melihat The Fed pasti menaikkan suku bunga bulan depan, dan kemungkinan sebesar 50 basis poin menjadi 0,5% - 0,75%.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir The Fed Januari lalu, pasar sudah menakar suku bunga akan dinaikkan hingga 125 basis poin di tahun ini. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan Reuters pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap analis mata uang.

Survei tersebut juga menunjukkan dolar AS masih akan mendominasi hingga 6 bulan ke depan, tetapi tidak akan menguat jauh dari level saat ini. Selain itu, median dari 24 analis menunjukkan agar dolar AS menguat tajam perlu ada tambahan kenaikan sebesar 62,5 basis poin.

Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

Sehingga jika The Fed menaikkan suku bunga hingga 125 basis poin di tahun ini, ada peluang rupiah masih akan stabil, meski melemah kemungkinan tidak akan besar. Apalagi, Bank Indonesia juga sudah memprediksi kenaikan tersebut.

"Kami masih mempertahankan prediksi The Fed Tahun ini akan menaikkan 4 kali masing-masing 25 basis poin, mulai Maret kemungkinan 25 basis poin atau 50 basis poin," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur, Kamis (10/1).

Artinya, BI juga sudah bersiap dengan agresivitas The Fed, dan tentunya sudah mempersiapkan amunisi guna menstabilkan rupiah. Terbukti pada perdagangan hari ini, Kamis (11/2), rupiah masih cukup stabil, hingga siang ini hanya melemah 0,07% di Rp 14.350/US$. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 'Setan' Resesi Gentayangan Lagi

Tingginya inflasi di AS menjadi alasan utama The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini. Kenaikan suku bunga memang bisa meredam inflasi, tetapi jika suku bunga terlalu tinggi maka roda perekonomian bisa melambat, sebab suku bunga kredit akan meningkat, dan ekspansi bisnis perusahaan menjadi terhambat.

Pergerakan yield obligasi AS (Treasury) sudah menunjukkan hal tersebut. Yield Treasury tenor 2 tahun yang sensitif akan kenaikan suku bunga sudah melesat naik. Begitu juga dengan yield Treasury tenor 10 tahun, tetapi kenaikan jauh lebih lambat.

Di akhir tahun 2021, yield Treasury tenor 2 tahun berada di kisaran 0,73%, sementara saat ini berada di kisaran 1,54%, mengalami kenaikan sekitar 81 basis poin, sementara tenor 10 tahun mengalami kenaikan 51 basis poin menjadi 2,01% dari akhir tahun lalu 1,5%.

Artinya, spread yield semakin menyempit, bahkan kemungkinan terjadi inversi atau yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi dari tenor 10 tahun.

Reuters melaporkan banyak analis melihat inversi akan terjadi di tahun ini. Analis dari bank Standar Chartered salah satunya, yang melihat inversi akan terjadi di akhir tahun ini.
Lary Fink, CEO BlackRock juga mengatakan hal senada pada pertengahan Januari lalu.

"Saya pikir yield Treasury akan mendatar, anda tahu, dan saya bahkan melihat The Fed bisa sangat agresif, saya bisa melihat, anda tahu, kurva yield negatif (inversi)," kata Fink dalam wawancara dengan CNBC International.

Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu, sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Inversi yield Treasury terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinnya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Ketika Negara Adidaya mengalami pelambatan ekonomi lagi, bahkan resesi maka dampaknya akan terasa ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular