Utang Dunia Kian Liar, Bakal Lunas Atau Malah Bangkrut?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi negara-negara berkembang - termasuk emerging market - perjuangan Federal Reserve untuk mengekang inflasi AS dengan serangkaian kenaikan suku bunga acuan tahun ini menimbulkan kecemasan. Apa lagi keputusan ini diambil di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya dan tekanan utang yang nilainya kian melambung akibat krisis pandemi.
Kenaikan suku bunga acuan tersebut pada akhirnya diperkirakan akan berdampak negatif ke banyak negara di dunia. Khususnya negara berpendapatan rendah dengan utang besar.
"Jika suku bunga naik, situasi akan memburuk, dan kita akan menghadapi krisis utang," ungkap Joseph Eugene Stiglitz, Peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi tahun 2001 dalam acara Mandiri Investment Forum, Rabu (9/2/2022).
Pemulihan ekonomi yang baru terjadi di negara maju - negara berkembang dan yang berpendapatan rendah masih berkutat dengan masalah vaksinasi sebagai antisipasi covid-19, lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas hingga terganggunya rantai pasok - akan menyebabkan gejolak pasar ketika suku bunga naik.
Menurut perkiraan Bank Dunia, 124 juta orang akan masuk ke jurang kemiskinan pada tahun 2020, dengan 8 dari 10 di antaranya berada di negara-negara berpenghasilan menengah.
Senada, Managing Director Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Grup Bank Dunia Mari Elka Pangestu juga mengatakan menyebut tidak sedikit negara akan mengalami masalah ancaman utang yang terjadi karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
"Negara-negara ini menghadapi situasi dimana kebijakan stimulus harus mulai dikurangi, tanggapan terhadap pandemi masih harus berlangsung, dan stimulus kebijakan kesehatan serta ekonomi juga masih berlangsung," kata Mari dalam acara yang sama.
Pada 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat utang seluruh dunia mencapai US$ 226 triliun, angka ini lebih dari 2 kali GDP dunia yang merunut estimasi IMF nilainya mencapai US$ 95 triliun.
(fsd)