
Utang Dunia Kian Liar, Bakal Lunas Atau Malah Bangkrut?

Singkatnya, bisa saja terjadi tetapi tidak akan semudah itu. Sebelum bangkrut pada tahun 1982, pasar negara berkembang sebagian besar meminjam dengan jangka waktu pendek dan tingkat bunga mengambang (floating) dalam mata uang asing.
Debitur terbesar saat ini cenderung menjual obligasi jangka panjang, sebagian besar dalam mata uang masing-masing, dan seringkali kepada pembeli lokal. Menurut IMF dan Bank Dunia, 29 negara miskin "berisiko tinggi" mengalami kesulitan utang. Empat pemerintah tambahan memiliki peringkat kredit CCC+ yang lemah, menurut S&P Global Ratings. (Di masa lalu, hampir setengah dari negara-negara dalam kategori CCC atau CC mengalami gagal bayar dalam satu tahun). Tetapi sebagian besar peminjam ini terlalu kecil untuk menimbulkan banyak kekhawatiran sistemik.
Akan tetapi saat ini ada beberapa negara besar yang sedang dilanda krisis utang, yang bisa jadi masa depannya semakin suram. Salah satunya adalah Argentina.
Pekan lalu pemerintah di Argentina akhirnya menerima dorongan yang sangat dibutuhkan dengan IMF setuju untuk merestrukturisasi pinjaman US$ 57 miliar, mencegah gagal bayar yang akan segera terjadi.
Namun, bagi investor global, kesepakatan itu harus menjadi peringatan dan menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih besar, apa yang akan terjadi dengan utang negara lain yang bermasalah di dunia tahun ini, terutama di antara negara-negara berpenghasilan rendah.
IMF memperkirakan bahwa 60% negara-negara berpenghasilan rendah sekarang menghadapi kesulitan utang. Ini dua kali lipat dari tahun 2015. Investor bersiap untuk potensi default oleh LICs (low income countries) seperti Sri Lanka, Ghana, Tunisia dan El Salvador - serta negara-negara berpenghasilan menengah seperti Lebanon, Turki dan Ukraina.
Naiknya suku bunga AS juga diperkirakan akan membuat tekanan terhadap negara-negara tersebut semakin parah.
Sementara itu kondisi ini sedikit lebih baik di negara emerging market, di luar Argentina. Alih-alih krisis utang, pasar negara berkembang mungkin mengalami berbagai tingkat "fiscal scarring", seperti yang dikatakan Alberto Ramos dari Goldman Sachs.
Utang dan defisit pemerintah yang tinggi dapat membatasi fleksibilitas dan jangkauan gerakan pemerintah, menghambat responsnya terhadap perlambatan lebih lanjut. Defisit fiskal Brasil, misalnya, telah menambah tekanan inflasi di negara itu, mewajibkan bank sentralnya untuk menaikkan suku bunga secara tajam, bahkan saat angka pengangguran tetap tinggi.
Sementara di China, krisis utang malah dirasakan paling parah oleh sektor swasta, khususnya para pengembang perumahan. Evergrande tercatat memiliki utang lebih dari US$ 300 miliar atau melebihi utang publik dari semua kecuali sembilan negara berkembang.
(fsd)