Analisis

Utang Dunia Kian Liar, Bakal Lunas Atau Malah Bangkrut?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
10 February 2022 15:55
INFOGRAFIS, 10 Negara dengan Hutang Terbanyak di Dunia
Foto: Infografis/Negara dengan Hutang Terbanyak/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi negara-negara berkembang - termasuk emerging market - perjuangan Federal Reserve untuk mengekang inflasi AS dengan serangkaian kenaikan suku bunga acuan tahun ini menimbulkan kecemasan. Apa lagi keputusan ini diambil di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya dan tekanan utang yang nilainya kian melambung akibat krisis pandemi.

Kenaikan suku bunga acuan tersebut pada akhirnya diperkirakan akan berdampak negatif ke banyak negara di dunia. Khususnya negara berpendapatan rendah dengan utang besar.

"Jika suku bunga naik, situasi akan memburuk, dan kita akan menghadapi krisis utang," ungkap Joseph Eugene Stiglitz, Peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi tahun 2001 dalam acara Mandiri Investment Forum, Rabu (9/2/2022).

Pemulihan ekonomi yang baru terjadi di negara maju - negara berkembang dan yang berpendapatan rendah masih berkutat dengan masalah vaksinasi sebagai antisipasi covid-19, lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas hingga terganggunya rantai pasok - akan menyebabkan gejolak pasar ketika suku bunga naik.

Menurut perkiraan Bank Dunia, 124 juta orang akan masuk ke jurang kemiskinan pada tahun 2020, dengan 8 dari 10 di antaranya berada di negara-negara berpenghasilan menengah.

Senada, Managing Director Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Grup Bank Dunia Mari Elka Pangestu juga mengatakan menyebut tidak sedikit negara akan mengalami masalah ancaman utang yang terjadi karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

"Negara-negara ini menghadapi situasi dimana kebijakan stimulus harus mulai dikurangi, tanggapan terhadap pandemi masih harus berlangsung, dan stimulus kebijakan kesehatan serta ekonomi juga masih berlangsung," kata Mari dalam acara yang sama.

Pada 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat utang seluruh dunia mencapai US$ 226 triliun, angka ini lebih dari 2 kali GDP dunia yang merunut estimasi IMF nilainya mencapai US$ 95 triliun.

Tahun 2022 ini akan menandai peringatan 40 tahun salah satu default paling tenar di Dunia. Pada tanggal 12 Agustus 1982, menteri keuangan Meksiko mengakui bahwa pemerintahnya tidak dapat membayar kembali uang yang dipinjamkan oleh bank-bank Amerika. Negara "akan kehabisan uang dalam empat hari", katanya kala itu. Setelah Meksiko gagal bayar, 26 negara berkembang lainnya (termasuk 15 di Amerika Latin) akhirnya harus menjadwal ulang utang mereka dengan memperpanjang tenor pinjaman.

Krisis ini terjadi sekitar setahun sebelum terminologi pasar negara berkembang (emerging market) ditemukan oleh Antoine van Agtmael dari Bank Dunia. Empat puluh tahun kemudian, emerging market tumbuh besar dan mengakumulasi tingkat utang yang sangat tinggi.

Data Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mencatat, kewajiban tersebut rata-rata sekitar 63% dari PDB, naik lebih dari sepuluh poin persentase sejak 2018. Peningkatan ini terjadi karena dua hal utama yakni krisis pandemi yang menyebabkan pemerintah terpaksa menambah pinjaman dan kontraksi GDP yang terjadi. Kedua hal ini membuat rasio utang terhadap GDP melambung tinggi.

 

Meski demikian sejalan dengan utang yang menjulang ekonomi pasar negara berkembang juga ikut meningkat drastis dengan China yang dalam kurun 20 tahun sejak pergantian abad, besar GDP domestik terhadap total GDP global melambung dari hanya 3,5% pada tahun 2000, menjadi 17,38% pada 2020, berdasarkan data dari Bank Dunia (World Bank).

Sementara itu, besaran ekonomi Indonesia tahun 2020 setara dengan 6,4 kali besar ekonomi 20 tahun yang lalu.

 

Singkatnya, bisa saja terjadi tetapi tidak akan semudah itu. Sebelum bangkrut pada tahun 1982, pasar negara berkembang sebagian besar meminjam dengan jangka waktu pendek dan tingkat bunga mengambang (floating) dalam mata uang asing.

Debitur terbesar saat ini cenderung menjual obligasi jangka panjang, sebagian besar dalam mata uang masing-masing, dan seringkali kepada pembeli lokal. Menurut IMF dan Bank Dunia, 29 negara miskin "berisiko tinggi" mengalami kesulitan utang. Empat pemerintah tambahan memiliki peringkat kredit CCC+ yang lemah, menurut S&P Global Ratings. (Di masa lalu, hampir setengah dari negara-negara dalam kategori CCC atau CC mengalami gagal bayar dalam satu tahun). Tetapi sebagian besar peminjam ini terlalu kecil untuk menimbulkan banyak kekhawatiran sistemik.

Akan tetapi saat ini ada beberapa negara besar yang sedang dilanda krisis utang, yang bisa jadi masa depannya semakin suram. Salah satunya adalah Argentina.

Pekan lalu pemerintah di Argentina akhirnya menerima dorongan yang sangat dibutuhkan dengan IMF setuju untuk merestrukturisasi pinjaman US$ 57 miliar, mencegah gagal bayar yang akan segera terjadi.

Namun, bagi investor global, kesepakatan itu harus menjadi peringatan dan menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih besar, apa yang akan terjadi dengan utang negara lain yang bermasalah di dunia tahun ini, terutama di antara negara-negara berpenghasilan rendah.

IMF memperkirakan bahwa 60% negara-negara berpenghasilan rendah sekarang menghadapi kesulitan utang. Ini dua kali lipat dari tahun 2015. Investor bersiap untuk potensi default oleh LICs (low income countries) seperti Sri Lanka, Ghana, Tunisia dan El Salvador - serta negara-negara berpenghasilan menengah seperti Lebanon, Turki dan Ukraina.

Naiknya suku bunga AS juga diperkirakan akan membuat tekanan terhadap negara-negara tersebut semakin parah.

Sementara itu kondisi ini sedikit lebih baik di negara emerging market, di luar Argentina. Alih-alih krisis utang, pasar negara berkembang mungkin mengalami berbagai tingkat "fiscal scarring", seperti yang dikatakan Alberto Ramos dari Goldman Sachs.

Utang dan defisit pemerintah yang tinggi dapat membatasi fleksibilitas dan jangkauan gerakan pemerintah, menghambat responsnya terhadap perlambatan lebih lanjut. Defisit fiskal Brasil, misalnya, telah menambah tekanan inflasi di negara itu, mewajibkan bank sentralnya untuk menaikkan suku bunga secara tajam, bahkan saat angka pengangguran tetap tinggi.

Sementara di China, krisis utang malah dirasakan paling parah oleh sektor swasta, khususnya para pengembang perumahan. Evergrande tercatat memiliki utang lebih dari US$ 300 miliar atau melebihi utang publik dari semua kecuali sembilan negara berkembang.

Akibat peningkatan pesat dalam ketidaksetaraan (inequality) dan utang, semakin banyak pembuat kebijakan dan ekonom menekan IMF untuk menghilangkan biaya tambahan yang dibebankan pada pinjaman ke negara-negara yang sedang berjuang karena mereka menyedot dana langka yang sebaliknya dapat digunakan untuk memerangi Covid.

Dana tersebut, yang selama beberapa dekade telah mendukung negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan, membebankan biaya yang luar biasa besar atau berlangsung lama. Biaya tersebut dirancang untuk membantu melindungi dari kerugian besar pinjaman berisiko tinggi.

Tetapi kritikus berpendapat bahwa biaya tambahan datang pada saat yang paling buruk, ketika negara-negara sudah sangat membutuhkan dana untuk memberikan bantuan kemiskinan dan layanan kesehatan masyarakat. Beberapa negara yang membayar biaya tersebut, termasuk Mesir, Ukraina dan Armenia, baru memvaksinasi kurang lebih sepertiga dari total populasi mereka. Hasilnya, menurut para kritikus, IMF malah merusak kesejahteraan keuangan dan stabilitas tempat-tempat yang ingin dibantunya.

Dalam kritik terbaru bulan lau, sebuah surat dikirimkan oleh 18 anggota DPR AS dari Partai Demokrat kepada Menteri Keuangan AS Janet L. Yellen, termasuk Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) dari New York dan Pramila Jayapal dari Washington, yang meminta Amerika Serikat untuk mendukung mengakhiri kebijakan biaya tambahan.

Biaya tambahan "menghambat investasi kesehatan masyarakat oleh negara-negara berkembang," kata surat itu. "Hasil buruk ini akan merusak pemulihan ekonomi global." Surat itu menyerukan beberapa isu lain dari lebih dari dua lusin negara berkembang, termasuk Argentina, Afrika Selatan dan Brasil.

Jumlah negara yang dikenakan biaya tambahan meningkat menjadi 21 tahun lalu dari 15 pada tahun 2020, menurut IMF. Pakistan, Mesir, Ukraina, Georgia, Albania, Tunisia, dan Ekuador termasuk di antara negara yang membayar.

Argentina, yang sudah lama memiliki hubungan yang kontroversial dan pahit dengan dana bantuan yang berkaitan dengan serangkaian talangan dan gagal bayar (default) sejak beberapa dekade yang lalu, telah menjadi penentang utama dari biaya tambahan.

Argentina sedang mencoba menyusun jadwal pembayaran baru terhadap US$ 45 miliar yang dipinjam pemerintah sebelumnya sebagai bagian dari paket pinjaman 2018. Pada akhir 2024, pemerintah memperkirakan, biaya tambahannya akan mencapai lebih dari US$ 5 miliar (Rp 71,75 triliun). Tahun ini, 70 persen dari tagihan yang dibayarkan Argentina kepada IMF atau nyaris US$ 1,6 miliar adalah untuk biaya tambahan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular