
Rupiah Juara 2 Asia Meski Banyak Kabar Buruk dari Internal

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) meski banyak sentimen negatif dari dalam negeri sejak awal pekan kemarin.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.380/US$. Sepanjang perdagangan rupiah tidak pernah masuk ke zona merah, dan sempat menguat hingga 0,17% di Rp 14.370/US$.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.390/US$, menguat tipis 0,03% di pasar spot.
Meski penguatannya tipis, tetapi rupiah menjadi yang terbaik kedua di Asia hari ini. Hingga pukul 15:00 WIB, rupiah hanya kalah dari baht Thailand yang menguat 0,12%. Di urutan ketiga ada dolar Taiwan yang menguat 0,01% saja, sementara mata uang utama Asia lainnya melemah.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Sentimen negatif bagi rupiah datang dari dalam negeri. Kemarin, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi persnya mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) wilayah aglomerasi Jabondetabek naik menjadi level 3. Selain itu, ada Bandung Raya, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali yang juga naik menjadi level 3.
Dengan PPKM yang lebih ketat, roda perekonomian tentunya kembali melambat, yang memberikan tekanan pada rupiah.
Selain itu Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar. Turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.
Dengan demikian, cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan dua bulan beruntun dan berada di level terendah dalam 6 bulan terakhir. Cadangan devisa tersebut juga semakin jauh dari rekor tertinggi US$ 146,9 miliar yang dicapai pada September 2021 lalu.
Cadangan devisa yang turun tajam di awal tahun 2022, artinya amunisi Bank Indonesia (BI) untuk menghadapi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) juga berkurang. Seperti diketahui, bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, dan bisa memicu tekanan bagi rupiah.
Guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak, BI bisa menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF) dan pasar obligasi.
Sementara itu dari eksternal, pelaku pasar masih menanti rilis data inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat, yang bisa memberikan gambaran seberapa besar suku bunga akan dinaikkan pada bulan Maret.
Hasil survei Reuters menunjukkan CPI bulan Januari yang akan dirilis Kamis nanti akan kembali naik menjadi 7,3% year-on-year (yoy), dari bulan sebelumnya 7%.
"Sekarang perhatian beralih ke inflasi Amerika Serikat, pasar akan menggunakan data tersebut untuk memperkirakan apakah bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan 25 basis poin atau 50 basis poin pada bulan depan," kata Joe Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana diwartakan CNBC International, Senin (7/2).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
