
Kena Gebuk Sana Sini, Rupiah Masih Lesu Lawan Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sukses menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (31/1), setelah tidak pernah menguat sepanjang pekan lalu. Rupiah masih mampu menguat meski mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 14.390/US$, setelahnya sempat menembus ke atas Rp 14.400/US$. Tetapi rupiah sukses bangkit selepas tengah hari, dan mencatat penguatan tipis 0,03% ke Rp 14.380/US$.
Meski ditutup menguat pada hari terakhir bulan Januari, sepanjang bulan atau sejak awal tahun, rupiah masih mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Di pasar spot rupiah tercatat melemah 0,81% selama bulan Januari, sedangkan di kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah melemah 0,85% terhadap dolar AS.
Sepanjang bulan Januari setidaknya terdapat dua sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah, yakni keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga dan kondisi pandemi yang masih bergulat dengan varian baru virus Covid-19.
Dari dalam negeri, pelaku pasar saat ini menanti apakah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di DKI Jakarta akan dinaikkan menjadi level 3 atau tetap level 2. Sebab, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) terus mengalami peningkatan
Akhir pekan lalu, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 12.422 kasus, menjadi yang tertinggi sejak 27 Agustus lalu.
Dari total kasus tersebut, DKI Jakarta masih mendominasi tambahan kasus konfirmasi harian dengan total 6.613. Sehingga pelaku pasar was-was apakah PPKM di DKI Jakarta akan diperketat atau tidak.
Rupiah sepanjang pekan lalu juga melemah 0,35% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.385/US$. Dalam 5 hari perdagangan rupiah tidak pernah sekali pun menguat, rinciannya melemah 3 kali stagnan 2 kali.
Meski melemah di pekan lalu, pergerakan rupiah tersebut terbilang cukup bagus jika melihat dolar AS yang sangat kuat setelah The Fed (bank sentral AS) menegaskan akan agresif menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini.
Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di Amerika Serikat yang semakin tinggi menguatkan kemungkinan The Fed akan agresif di tahun ini. Pada Jumat pekan lalu, inflasi PCE inti dilaporkan tumbuh 4,9% year-on-year (yoy) di bulan Desember, yang merupakan level tertinggi sejak September 1983.
Rilis tersebut semakin memperkuat posisi dolar AS, indeksnya sepanjang pekan lalu melesat 1,7% ke 97,270 yang merupakan level tertinggi sejak Juni 2020. Tetapi sore ini indeks dolar AS turun 0,16% ke 97,111, yang menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah hari ini.
Kabar kurang bagus juga datang dari China. Aktivitas manufakturnya mengalami pelambatan di bulan Januari.
Aktivitas manufaktur yang dilihat dari purchasing manager index (PMI) berada di level 50,1, turun dari bulan Desember 2021 sebesar 50,3 berdasarkan data dari pemerintah China.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi di atasnya artinya ekspansi.
Data PMI lain yang dirilis Markit/Caixin bahkan sudah menunjukkan kontraksi di 49,1 dari sebelumnya 50,9.
Rilis tersebut memberikan kekhawatiran jika perekonomian China berisiko melambat di tahun ini, yang tentunya akan berdampak ke Indonesia.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Menari-nari Saat Ada Isu Tak Sedap dari AS & China