IHSG Kebal Dengan Fluktuasi Bursa Global
Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan ini menjadi bulan yang cukup menantang bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pasalnya, pasar saham global sepanjang bulan lalu mencatatkan kinerja yang kurang cemerlang karena investor menilai bahwa risiko makroekonomi masih terjadi setidaknya hingga awal tahun 2022.
Meski pasar saham global cenderung berfluktuasi pada Januari lalu, tetapi di dalam negeri, yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mencetak kinerja positifnya pada bulan lalu. Bahkan jika dibandingkan dengan Desember 2021, kinerja IHSG pada Januari 2022 lebih baik.
IHSG melesat 0,75% pada Januari 2022, di mana per 31 Januari, IHSG berada di level 6.631,15. Bahkan pada Januari, IHSG berhasil mencetak rekor terbarunya di level 6.726,37 yang tercipta pada 21 Januari lalu.
Adapun level tertinggi (all time high/ATH) IHSG sebelumnya berada di level 6.720,26 yang pernah tercipta pada 19 November 2021.
Meski pasar menduga bahwa fenomena January Effect pada tahun 2022 tidak sebesar pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi pada akhirnya fenomena tersebut masih hadir pada tahun ini.
Bahkan jika dibandingkan dengan Januari tahun lalu, January Effect seakan tidak menghampiri pasar. January Effect terakhir terlihat sekitar dua tahun lalu, atau saat pandemi virus corona (Covid-19) belum muncul di Indonesia.
Asal tahu saja, January effect merupakan sebuah fenomena di mana bursa saham Amerika Serikat (AS) cenderung menguat pada Januari. Hal ini terjadi setelah adanya fenomena Santa Claus Rally pada penghujung tahun atau pada bulan Desember.
Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya fenomena January effect, salah satunya adalah penggunaan bonus akhir tahun oleh masyarakat AS untuk berinvestasi di pasar saham.
Selain itu, January effect juga dipicu oleh faktor psikologis, yakni anggapan investor bahwa Januari merupakan bulan terbaik untuk memulai sebuah program investasi. Ada juga masyarakat yang merealisasikan resolusi tahun barunya untuk mulai berinvestasi sehingga dorongan beli di pasar saham meningkat dan menyebabkan harga terkerek naik.
Fenomena January effect di AS kemudian menjalar hingga ke pasar saham Tanah Air. Bahkan bisa dibilang, Januari merupakan bulan yang manis bagi investor saham di Indonesia.
Menurut data yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), IHSG berhasil menguat sebanyak tujuh kali selama Januari, dengan tiga sisanya berakhir di zona merah.
Kendati rerata return IHSG di Januari selama 10 tahun terakhir tercatat positif, yakni 1,30%, tetapi selama 2020-2021 atau di tengah pandemi Covid-19 rapor IHSG jeblok selama bulan pertama di kalender tahunan. Pada Januari 2020, IHSG ambles 5,71% dan pada Januari 2021 turun 1,95%.
Terlepas dari mulai adanya fenomena Januari Effect di Indonesia, sejatinya fenomena tersebut terjadi di AS pada saat perdagangan akhir bulan Januari, yakni pada Jumat pekan lalu dan Senin kemarin.
Sebelumnya, pasar saham Negeri Paman Sam mencetak koreksi setidaknya nyaris sebulan penuh, di mana pada awal Januari lalu, pergerakan bursa Negeri Paman Sam mulai lesu.
Hal ini karena investor global kembali dikhawatirkan dengan adanya potensi sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang semakin hawkish, di mana bank sentral paling powerful di dunia tersebut berencana untuk mempercepat menaikan suku bunga acuannya pada Maret mendatang.
Atas kekhawatiran pasar tersebut, membuat saham-saham teknologi di AS pun langsung ambles hingga berhari-hari dan turut mempengaruhi saham-saham teknologi global.
Koreksi dalam di saham teknologi pun membuat volatilitas bursa Asia dan Eropa makin meningkat pada Januari lalu.
Potensi pengetatan kebijakan moneter The Fed terjadi karena mereka ingin mengekang inflasi agar tidak terlalu panas. Pada Desember tahun lalu, inflasi AS dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) dilaporkan naik menjadi 7% secara tahunan (year-on-year/YoY), menjadi yang tertinggi sejak tahun 1982.
Tidak hanya mengerek suku bunga, The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya (balance sheet) di tahun ini.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan kebijakan program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Nilai QE tersebut sudah dikurangi (tapering) sejak bulan November lalu, dan akan berakhir pada Maret nanti.
Ketua The Fed, Jerome Powell dalam pernyataannya setelah rapat edisi Januari 2022, The Fed mengatakan pengurangan nilai neraca bisa dilakukan setelah suku bunga dinaikkan dan itu akan dilakukan "dengan cara yang dapat diprediksi".
"The Fed berencana mengurangi nilai neracanya setelah suku bunga mulai dinaikkan, pengumuman tersebut mengindikasikan hal itu bisa dilakukan pada rapat kebijakan moneter di bulan Maret, yang sedikit lebih hawkish dari perkiraan kami," kata Michael Pearce, ekonom senior di Capital Economics.
Ketua The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya, tetapi tidak menyebutkan waktu yang spesifik.
Dengan demikian The Fed sudah melakukan tapering, kemudian akan menaikkan suku bunga dan mengurangi nilai neraca. Artinya, The Fed menggunakan kekuatan penuh untuk menormalisasi kebijakan moneternya.
(chd)