
Dikabarkan Bakal IPO, Seberapa Menarik 'Mesin' Bisnis GoTo?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekosistem digital terbesar di Indonesia, PT GoTo Gojek Tokopedia atau Goto Group, entitas pengendali Gojek dan Tokopedia dikabarkan akan menggelar penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di awal tahun ini dengan nilai terbesar sepanjang sejarah Bursa Efek Indonesia (BEI).
GoTo disebut-sebut akan membidik dana antara US$ 1 miliar sampai US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 14,3 triliun sampai Rp 21,45 triliun (kurs Rp 14.300/US$), melewati torehan nilai IPO PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), yang melantai di BEI pada 6 Agustus 2021.
Apalagi Oktober tahun lalu GoTo Group sudah mengantongi dana pra-IPO senilai US$ 400 juta atau setara Rp 5,72 triliun dari penggalangan dana yang dipimpin anak usaha Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), yang berdampak pada valuasi jelang IPO.
ADIA menjadi investor terbaru yang masuk ke dalam daftar investor global di GoTo saat ini, menyusul Alibaba Group, PT Astra International Tbk (ASII), Facebook, Global Digital Niaga (GDN), Google, KKR, PayPal, Sequoia Capital India, SoftBank Vision Fund 1, Telkomsel, Temasek, Tencent dan Warburg Pincus.
Pengamat pasar modal dan Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, penting bagi calon investor yang ingin memburu saham perusahaan teknologi termasuk GoTo untuk memperhatikan beberapa faktor sebelum mengambil keputusan investasi.
Faktor pertama, kata Hans, publik harus melihat apa saja bisnis utama GoTo dan investasinya. Berdasarkan keterangan resmi GoTo, grup bisnis ini mengklaim menjadi ekosistem digital terbesar di Indonesia yang dibangun dari tiga lini utama yakni Gojek (layanan on-demand), PT Tokopedia (e-commerce) dan GoTo Financial (jasa keuangan) lewat PT Dompet Karya Anak Bangsa (PT DKAB) dengan anak usahanya yakni PT Dompet Anak Bangsa (DAB) atau Gopay.
"Pelaku pasar akan berhati-hati dengan IPO GOTO, karena IPO perusahaan teknologi sebelumnya (Bukalapak) dianggap tinggi valuasinya. Namun kita bicara GOTO yang punya ekosistem lengkap seperti di transportasi ada, ecommerce ada, banknya juga ada, lalu juga ada sistem pembayaran ada. Tentu akan jadi pembeda," kata Hans belum lama ini.
Adapun bank digital yang dimaksud ialah kepemilikan saham di PT Bank Jago Tbk (ARTO). GoTo masuk lewat DKAB dan per September 2021 sahamnya sebanyak 21,40% atau 2.965.745.000 saham, dengan valuasi mencapai Rp 46,34 triliun (asumsi harga saham Rp 15.625/saham per akhir Desember lalu).
GoTo juga berinvestasi membuat perusahaan patungan di kendaraan listrik (EV) bersama emiten energi terintegrasiPT TBS Energu Utama Tbk. Berdasarkan lembar fakta GoTo, ekosistem GoTo memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif bulanan, didukung lebih dari 2 juta mitra driver di Asia Tenggara dan 11 juta mitra UMKM yang bergabung di Gojek, Tokopedia dan GoTo Financial.
Hans melanjutkan, faktor kedua yang diperhatikan ialah valuasi harga yang ditawarkan. "Sebenarnya GoTo ini menarik karena dia market leader. Nah, mungkin inilah perusahaan teknologi terbesar di Indonesia saat ini. Mungkin yang lain-lain masuk (go public) tidak akan sebesar GoTo lagi. Jadi kemungkinan minat itu masih ada ya dari pasar dan investor, tapi tentu orang akan sangat hati-hati dengan valuasi, jadi valuasinya nggak boleh terlalu mahal," terangnya.
Menurut Hans, GoTo juga berhitung dengan rencana IPO ini mengingat ada beberapa IPO perusahaan teknologi yang mengalami tekanan harga setelah go public. Pertama, lanjutnya, ada Bukalapak dan ada juga Grab di AS yang kinerja sahamnya tertekan sehingga bisa memengaruhi minat investor terhadap perusahaan teknologi.
"Yang kedua, valuasi yang mereka tawarkan tentunya tidak akan optimal kalau minat masyarakat agak turun," imbuhnya.
Adapun faktor ketiga adalah sentimen mengenai suku bunga yang kemungkinan naik, terutama di Amerika yang dilakukan oleh bank sentral AS, The Fed, sehingga akan memengaruhi minat investor.
"Perusahaan teknologi selalu tumbuh jangka panjang atau ekspektasi jangka panjang dan itu sangat dipengaruhi discount rate. Bila discount rate naik dalam hal ini suku bunga, itu akan menyebabkan minat dan keinginan orang untuk membeli saham perusahaan teknologi menurun," papar Hans.
Itu sebabnya, kata Hans, dalam beberapa hari terakhir ini saham teknologi banyak dijual investor yang punya ekspektasi bahwa kemungkinan bunga naik lebih cepat dari perkiraan. "Nah dari dari ini tentu mempengaruhi minat orang terhadap saham perusahaan teknologi," ucapnya.
Lalu, faktor terakhir yang perlu diperhatikan ialah prospek bisnis GoTo ke depan. Bisnis GoTo dinilai sangat menarik dalam jangka panjang karena semua orang akan memakai teknologi dalam aktivitasnya.
Sebagai catatan, pada 2020, GoTo Group menghasilkan lebih dari 1,8 miliar transaksi dengan total nilai transaksi bruto (GTV) sebesar lebih dari US$ 22 miliar atau setara Rp 315 triliun. Hans Kwee menilai secara jangka panjang bisnisnya masih sangat menarik.
"Tapi tentu kan kita nggak pernah tahu ke depan itu seperti apa, itu yang paling penting. Di perusahaan teknologi itu, harus cari pemenangnya. Jadi, GoTo harus jadi pemenang di sini," tutur Hans.
Dia menilai saat ini investor masih melihat bahwa GoTo sebagai pilihan terbaik dari yang ada. "Tapi saya mengimbau masyarakat juga memperhatikan valuasinya. Kalau valuasinya terlalu mahal tentu kita harus hati-hati, karena belajar dari Bukalapak, Grab yang ternyata turun setelah Go Publik. Jadi memang teknologi jadi pilihan yang penting," ucapnya.
Sementara itu, Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Sekuritas berpendapat, setiap emiten baru selalu menarik perhatian investor karena bisa dijadikan alternatif berinvestasi. Faktor penentunya adalah kemampuan emiten tersebut dalam menjelaskan prospek bisnis di masa mendatang dan target pertumbuhan tahunan.
Kehadiran GoTo juga akan meningkatkan kapitalisasi pasar IHSG. IPO skala jumbo dapat menarik minat investor asing untuk membenamkan lebih banyak lagi investasi di bursa domestik. "Bobot Sektor Teknologi terhadap indeks juga akan meningkat. Ini akan menambah daya tarik emiten teknologi," kata Edwin.
Tidak ketinggalan, dia menekankan, bahwa para investor tetap perlu mencermati beberapa hal penting, seperti prospek alias outlook dari perusahaan tersebut, bisnis model perusahaannya, siapa saja orang-orang yang mengelolanya dari sisi jajaran manajemen, hingga kebijakan pembagian dividen.
"Di sektor apa perusahaan tersebut beroperasi? Apakah di sektor yang sudah sunset industry atau justru yang baru mau growth," tukasnya.
Sebelumnya, awal Desember 2021, Bloomberg mengungkapkan, GoTo disinyalir sudah menunjuk penjamin emisi (underwriter) IPO dengan target dana US$ 1 miliar atau Rp 14,3 triliun. Dua perusahaan sekuritas itu yakni PT Mandiri Sekuritas dan PT Indo Premier Sekuritas.
Sedangkan dalam keterangan resminya Oktober 2021, Andre Soelistyo, CEO GoTo Group mengatakan, pihaknya memang tengah menyiapkan bisnis untuk pertumbuhan eksponensial untuk tahun-tahun mendatang. "Dukungan dengan skala seperti ini (investasi ADIA) menegaskan keyakinan kami bahwa Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi tujuan besar selanjutnya untuk investasi teknologi," kata Andre.
(bul/bul)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Kunci GoTo Sukses Sabet Best Employer Awards 2022