Bursa Berjangka: Harga Komoditas Masih Dibayangi Covid-19
Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas adalah sesuatu yang kompleks untuk dibahas. Hal ini dikatakan oleh Isa Djohari, Vice President Research & Development Bursa Berjangka Komoditas & Derivatif (ICDX) dalam Commodity Outlook ICDX Group Research, Selasa (25/1/2021).
Harga komoditi berpengaruh antar negara. Selama negara saling terkoneksi maka harga saling berpengaruh. Komoditas juga saling berpengaruh terhadap komoditas lainnya sehingga bisa saling subtitusi. Contohnya, crude palm oil (CPO) dengan minyak kedelai. Atau, CPO dengan BBM.
Untuk tahun ini, Isa berpendapat gerak harga komoditas masih akan dipengaruhi oleh Covid-19.
"Untuk outlook 2022 sepertinya masih akan dipengaruh Covid-19 karena dampaknya adalah pekerja untuk komoditas yang berkaitan. Contohnya ada potensi pengurangan pekerja saat outbreak sehingga produksi macet dan berpengaruh terhadap harga," ujar Isa.
Ketika produksi macet harga akan cenderung menguat karena pasokan yang berpotensi berkurang.
Selain penyebaran Covid-19, ada faktor lain yang akan mengiringi harga komoditas sepanjang 2022 seperti inflasi dan juga faktor cuaca.
CPO pada tahun 2022 akan dipengaruhi oleh perkembangan Covid-19. Sebab kaitannya dengan tenaga kerja di kebun sawit. Selain itu, cuaca juga berpengaruh terhadap pergerakan harga CPO.
"Cuaca untuk CPO dipengaruhi La Nina yang diperkirakan bulan Februari selesai. Produksi CPO meningkat akan ada koreksi harga," kata Isa.
"Tapi harus liat minyak bumi damn minyak kedelai," tambahnya.
Minyak bumi terdorong oleh krisis energi di eropa dan penghentian ekspor batu bara dari Indonesia berpengaruh pada harga Bahan bakar di dunia. Efeknya harga minyak bumi terus naik.
Pergerakannya pun beriringan dengan harga CPO. Hal ini diungkapkan oleh Girta Yoga, Research and Development ICDX.
"Selama tiga tahun pergerakanannya ,secara garis besar trend dengan minyak bumi sama yaitu naik. Adapun berlawanan karena Indonesia memberlakukan B-30," ungkap Girta.
Girta mengatakan bahwa komoditas energi pada tahun 2022 cenderung masih akan menguat.
"Komoditas energi pada 2021 lalu menunjukkan tren kenaikan harga, dengan harga rata-rata tertinggi minyak mentah di atas US$ 80 per barel, tertinggi dalam tujuh tahun, gas alam di atas US$ 5 per mmbtu, tertinggi dalam tujuh tahun, dan batubara hampir US$ 225 per ton, tertinggi lebih dari 10 tahun," ujar Girta.
Penguatan harga energi didorong oleh pasokan yang ketat. Di AS produksi minyak mentah sebesar 13 juta bph 2020, sekarang 10-11 jutaan bph. Dari OPEC, ada negara anggotanya yang sulit memenuhi pasokan. Sehingga ini mengakibatkan pasokan akan ketat. Sehingga potensi minyak masih bisa menguat.
Ditambah lagi subtitusi batu bara, dari pemerintah indonesia komitmen pengurangan konsumsi batubara seperti China. Ini bisa menyebabkan orang beralih ke komoditas subtitusi sehingga bisa membuat harga lain naik.
Selain itu, konflik Rusia dan Ukraina juga berpotensi dongkrak harga komoditas energi karena Rusia berkontribusi 43% untuk pasokan gas alam di eropa.
Jika konflik memanas akan ada gangguan pasokan gas alam. Korelasi gas alam, minyak mentah, dan batu bara pergerakannya similar atau sejalan. Maka gas naik ada pergerakan harga energi lainnya naik beriringan.
(ras/ras)