
RI Dapat 'Untung' dari Konflik Rusia-Ukraina, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Potensi invasi Ukraina oleh Rusia akan berdampak ke sejumlah pasar baik komoditas, obligasi, safe haven, hingga pasar saham.
Di bawah ini adalah empat grafik yang menunjukkan di mana potensi eskalasi ketegangan dapat dirasakan di seluruh pasar global:
Obligasi dan Mata Uang Rusia dan Ukraina
Aset keuangan milik Rusia dan Ukraina pastinya paling pertama jatuh karena konflik yang berkecamuk.
Obligasi dan mata uang kedua negara telah berkinerja buruk dalam beberapa bulan terakhir karena investor memangkas eksposur di tengah meningkatnya ketegangan antara Washington dan sekutunya melawan Moskow.
Mata uang rubel Rusia dan hryvnia Ukraina juga menderita, menjadikannya mata uang dengan kinerja terburuk di pasar negara berkembang sepanjang tahun ini.
Geopolitik di perbatasan Ukraina-Rusia menghadirkan "ketidakpastian substansial" ke pasar mata uang asing, kata Chris Turner, kepala pasar global di ING.
"Peristiwa akhir 2014 mengingatkan kita pada kesenjangan likuiditas dan penimbunan dolar AS yang menyebabkan penurunan substansial dalam rubel pada waktu itu," kata Turner.
![]() Obligasi Ukraina-Rusia |
Aset Safe Haven
Tingkat inflasi di Amerika Serikat (AS) yang tertinggi sejak 1982 membuat kenaikan suku bunga akan dipercepat menjadi hal buruk bagi pasar obligasi. Ini karena saat suku bunga dipastikan naik, imbal hasil atau yield akan turun karena pasar sudah mulai menemui kepastian.
Namun, adanya konflik Rusia dan Ukraina dapat mengubah hal tersebut. Ketika ada risiko dari peristiwa besar biasanya investor akan membeli obligasi. Ini karena pada umumnya obligasi dilihat sebagai aset yang minim risiko. Sehingga ketidakpastian akan mendorong minat obligasi.
Jika invasi Rusia ke Ukraina berisiko yang lebih besar menyebabkan inflasi lebih tinggi karena kenaikan harga minyak.
"Jelas jika cerita Ukraina salah, akan ada tawaran yang cukup signifikan untuk Treasuries, dan prediksi treasury 10 tahun untuk mencapai 2% akan ditunda," kata Padhraic Garvey, kepala penelitian regional, Amerika di ING.
Saat ini imbal hasil (yield) treasury 10 tahun melayang di level sekitar 2%. Sementara yield di Jerman meningkat di atas 0% untuk pertama kali sejak 2019.
Aset safe haven lainnya seperti emas sudah berada di puncak dua bulan, begitu juga dengan yen.
![]() Safe Haven |
Gandum
Setiap gangguan pada aliran biji-bijian di wilayah Laut Hitam kemungkinan akan berdampak besar pada harga dan bahan bakar. Lebih lanjut, ini akan menimbulkan inflasi makanan di saat pasokannya saat ini menjadi perhatian dunia akibat pandemi Covid-19.
Empat eksportir utama - Ukraina, Rusia, Kazakhstan, dan Rumania - mengirimkan biji-bijian dari pelabuhan di Laut Hitam yang dapat menghadapi gangguan dari tindakan atau sanksi militer apa pun.
Ukraina diproyeksikan menjadi pengekspor jagung terbesar ketiga di dunia pada musim 2021/22 dan pengekspor gandum terbesar keempat, menurut data Dewan Biji-bijian Internasional. Rusia adalah pengekspor gandum terbesar di dunia.
"Risiko geopolitik telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir di wilayah Laut Hitam, yang dapat mempengaruhi harga gandum ke depan," kata Dominic Schnider, ahli strategi di UBS.
![]() Inflasi Makanan |
Minyak Mentah
Pasar energi kemungkinan akan terpukul jika ketegangan berubah menjadi konflik. Gas alam Eropa bergantung 35% dari Rusia. Distribusinya sebagian besar melalui pipa yang melintas dari Belarus dan Polandia ke Jerman, Nord Stream 1 langsung ke Jerman, dan lainnya melalui Ukraina.
Pada tahun 2020, volume gas dari Rusia ke Eropa turun setelah ada karantina wilayah atau lockdown yang menekan permintaan. Namun saat ekonomi mulai bergairah, kecepatan permintaan tidak bisa diimbangi dengan pemulihan pasokan. Akibatnya harga gas alam melonjak tinggi.
Jerman mengatakan dapat menghentikan pipa gas Nord Stream 2 baru dari Rusia, sebagai bagian dari kemungkinan sanksi dalam kasus Rusia menginvasi Ukraina.
Tapi juga perlu digarisbawahi ketergantungan energi Eropa pada Rusia.
Analis komoditas SEB Bjarne Schieldrop mengatakan pasar akan melihat ekspor gas alam dari Rusia ke Eropa Barat kemungkinan berkurang secara signifikan baik melalui Ukraina dan Belarus karena sanksi.
Bjarne menambahkan harga gas bisa kembali tinggi seperti saat kuartal IV-2021 lalu.
Pasar minyak juga bisa terpengaruh dari konflik ini. JPMorgan mengatakan ketegangan mempertaruhkan "lonjakan material" dalam harga minyak dan mencatat bahwa kenaikan bisa menjadi US$150 per barel.
Dampaknya akan mengurangi pertumbuhan PDB global menjadi hanya 0,9% year-on-year (yoy) pada semester I-2022. Sementara inflasi akan naik lebih dari dua kali lipat menjadi 7,2% yoy.
![]() Harga Gas Alam |
Ketika harga gas alam dan minyak meningkat, ini akan mendorong harga komoditas energi pengganti yaitu batu bara.
"Jika konflik (Rusia-Ukraina) memanas akan ada gangguan pasokan gas alam. Korelasi gas alam, minyak mentah, dan batu bara pergerakannya similar atau sejalan. Maka gas naik ada pergerakan harga energi lainnya naik beriringan," kata Girta Yoga, Research & Development ICDX dalam Commodity Outlook 2022, Selasa (25/1/2021).
Jika harga energi melaju seperti perkiraan, maka Indonesia akan diuntungkan sebagai pemasok komoditas energi dunia khususnya batu bara.
Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), ekspor batu bara dari Indonesia tercatat sebesar 405 juta ton. Sehingga harga yang meningkat dapat membuat pendapatan Indonesia juga meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ras/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Market Focus: IHSG Menguat di Tengah Risiko Perang