Negara Tetangga 2 Kali Ketatkan Kebijakan Moneter, BI Nyusul?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 January 2022 16:10
Bank Indonesia
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren pengetatan kebijakan moneter global sudah dimulai di awal tahun ini, inflasi yang tinggi menjadi salah satu alasannya. Kemarin, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) sekali lagi mengejutkan pasar dengan mengetatkan kebijakannya.

MAS pertama kali membuat kejutan pada pertengahan Oktober lalu. Para analis kemudian memprediksi kebijakan moneter akan kembali diketatkan pada bulan April nanti. Nyatanya, MAS melakukannya kemarin.

MAS kemarin mengatakan sedikit menaikkan slope $SNEER, begitu juga dengan lebar (width) tetapi titik tengah atau centre tidak berubah.

Pengetatan tersebut dilakukan pasca rilis data inflasi yang kembali menunjukkan kenaikan. Data dari pemerintah Singapura kemarin menunjukkan inflasi di bulan Desember melesat 4% year-on-year (yoy) lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,8% (yoy), dan tertinggi sejak Februari 2013.

Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan biaya akomodasi dan transportasi pribadi melesat 2,1% (yoy), tertinggi sejak Juli 2014. Kenaikan tersebut lebih tinggi dari bulan sebelumnya 1,6% (yoy) dan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memperkirakan sebesar 1,7%.

Untuk diketahui, di Singapura, tidak ada suku bunga acuan, kebijakannya menggunakan S$NEER (Singapore dollar nominal effective exchange rate). Pada 14 Oktober lalu MAS juga menaikkan kemiringan (slope) S$NEER dari sebelumnya di dekat 0%. Sementara lebar (width) dan titik tengah (centre) masih tetap.

Meski sudah mengetatkan kebijakan moneternya, MAS masih diprediksi melakukan hal yang sama pada bulan April nanti. Sebab, kemarin MAS hanya "sedikit" melakukan pengetatan.

"Jika MAS mengumumkan kebijakan yang lebih agresif hari ini, maka ekspektasi pengetatan moneter di bulan April bisa diabaikan," kata Selena Ling, kepala riset dan strategi treasury OCBC, sebagaimana dikutip CNBC International, Selasa (25/1).

Sebelumnya, 12 analis yang disurvei Bloomberg memperkirakan MAS akan mengetatkan kebijakan moneternya pada bulan April.

"Kita tidak bisa mengesampingkan langkah yang lebih agresif jika inflasi terus meninggi serta dampak dari kenaikan pajak barang dan jasa," kata Chua Hak Bin, ekonom senior di Maybank Kim Eng Research, sebagaimana dilansir Bloomberg.

Chua memperkirakan MAS akan menaikkan slope sebesar 50 basis poin. Sementara analis dari Citigroup, Goldman Sachs dan Nomura memprediksi kenaikan sebesar 100 basis poin.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Bakal Menyusul Dengan Mengerek Suku Bunga?

Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) pada pekan lalu juga memberikan kejutan. BI BI memberikan kejutan dengan mulai menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap pada Maret, Juni dan September hingga menjadi 6,5% dari saat ini 3,5%. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.

Kenaikan GWM tiga kali pada 2022, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, diperkirakan 'menyedot' likuiditas sekitar Rp 200 triliun dari sistem perbankan. Jumlah itu diyakini masih bisa membuat perbankan punya ruang untuk 'bernapas', sebab likuiditas saat ini dikatakan masih sangat longgar.

Cheng Hoon Lim, Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF dalam konferensi pers Rabu (26/1) mengatakan kenaikan GWM merupakan langkah awal pengetatan moneter yang dilakukan BI untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan yang akan dilakukan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed).

"Jadi kami pikir ini adalah langkah pertama menuju normalisasi sistem perbankannya untuk mengantisipasi pengetatan Fed," pungkasnya.

Menurut Cheng, Indonesia berada dalam posisi yang kuat dalam menghadapi pengetatan moneter The Fed.

"Posisi eksternal Indonesia sangat kuat. Jadi ketika Fed melakukan pengetatan, kami tidak melihat aliran modal keluar yang signifikan. Karena transaksi berjalan sangat kuat," kata Chen.

Transaksi berjalan Indonesia tercatat surplus US$ 4,5 miliar atau sekitar 1,5% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal III-2021. Hal ini berbeda dibandingkan 2013 dimana kondisi eksternal Indonesia sangat rapuh.

Kemudian keberadaan asing di dalam negeri, seperti pasar surat berharga negara (SBN) sangat kecil. Kini hanya berkisar 20%, sedangkan sebelum pandemi covid-19 bisa mencapai di atas 30% dan lebih dari 40% di tahun 2013.

Cheng menyampaikan, kini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia mulai menormalkan kembali kebijakannya. Termasuk bagi Bank Indonesia (BI) yang kebijakannya sangat longgar dalam dua tahun terakhir.

"Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk secara bertahap menormalkan kebijakannya dan secara bertahap menyesuaikan sikap moneternya ketika Fed mengetatkan," ujarnya.

TIM RISET CNBC INDONSESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular