
Wall Street Amburadul! Kode Agar The Fed Tak Kelewat Agresif?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Wall Street kembali jeblok pada perdagangan Selasa (25/1) waktu setempat. Ketiga indeks utama bergerak liar dan semua berakhir di zona merah.
Sektor teknologi lagi-lagi menjadi sasaran aksi jual, indeks Nasdaq jeblok hingga 2,35 pada perdagangan Selasa. Di awal pekan, Nasdaq bahkan sempat ambrol hingga nyaris 5% sebelum berbalik menguat 0,6%. Sepanjang bulan ini, Nasdaq sudah ambrol lebih dari 13%.
Hal yang sama juga menimpa indeks S&P 500, sepanjang bulan ini sudah merosot 8,6%. Indeks Dow Jones juga tidak lepas dari kemerosotan, meski paling kecil diantara yang lainnya.
Sepanjang bulan ini Dow Jones turun 5,6%.
![]() |
Jebloknya Wall Street bisa menjadi indikasi kekhawatiran pelaku pasar akan bank sentral AS (The Fed) yang akan sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya. Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan mengumumkan kebijakan moneternya pada Kamis (27/1) dini hari waktu Indonesia, atau kurang dari 24 jam lagi.
Stimulus moneter yang digelontorkan The Fed saat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda membuat Wall Street pada tahun lalu mencatat rekor tertinggi sepanjang masa berkali-kali.
Pada Maret 2020 lalu, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% dan menggelontorkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Alhasil, likuiditas menjadi melimpah dan masuk ke bursa saham, Wall Street pun terbang.
Kini, stimulus tersebut sudah mulai dikurangi dan likuiditas bisa kembali terserap. QE akan berakhir pada bulan Maret, dan The Fed diperkirakan akan langsung menaikkan suku bunga, bahkan bisa bertindak lebih agresif lagi.
Seperti diketahui, The Fed akan sangat agresif menormalisasi kebijakan moneternya. Dalam notula rapat kebijakan moneter edisi Desember yang dirilis awal bulan ini terungkap tidak hanya akan mengerek suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini, The Fed juga kemungkinan akan mengurangi nilai neracanya (balance sheet).
Sejak rilis notula The Fed Wall Street terus mengalami kemerosotan.
Bank investasi ternama, Goldman Sachs bahkan memprediksi Jerome Powell dan kolega bisa bertindak lebih agresif lagi.
Analis dari Goldman Sachs melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan lebih banyak lagi akibat tingginya inflasi di Amerika Serikat.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat saat ini berada di level 7% year-on-year (yoy) pada bulan Desember. Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Juni 1982.
"Prediksi dasar kami The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di bulan Maret, Juni, September dan Desember. Tetapi Kami melihat risiko The Fed ingin menaikkan suku bunga di setiap pertemuan sampai proyeksi inflasi berubah," kata David Mericle, ekonom di Goldman Sachs kepada nasabahnya yang dikutip CNBC International, Minggu (23/1).
![]() |
Agresivitas The Fed juga diperkirakan akan terjadi dalam pengurangan nilai neracanya. Goldman memprediksi The Fed akan mengurangi neracanya yang saat ini nyaris mencapai US$ 9 triliun sebesar US$ 100 miliar per bulan.
Pengurangan tersebut diperkirakan akan dimulai pada bulan Juli dan akan berlangsung selama dua hingga dua setengah tahun, yang membuat neraca The Fed nantinya senilai US$ 6.1 triliun hingga 6.6 triliun.
Pengurangan nilai neraca artinya The Fed akan melepas kepemilikan obligasinya (Treasury), sehingga likuiditas akan terserap lebih cepat. Pengetatan likuiditas tersebut dikhawatirkan bisa memicu pelambatan ekonomi, apalagi jika inflasi gagal dijinakkan. Wall Street pun diterpa aksi jual masif.
Bank investasi ternama Morgan Stanley dalam risetnya yang dirilis 9 Januari lalu menyatakan bank sentral dunia, mulai nyaman dengan sikap hawkish yang diambil. Sebabnya adalah pasar saham yang masih stabil hingga yield obligasi yang tidak naik tajam.
"Bank sentral semakin nyaman dengan kebijakan yang semakin hawkish. Pasar saham tidak anjlok, penyaluran kredit masih terjaga, dan kurva yield hingga Desember lalu tidak mengalami kenaikan tajam," tulis riset tersebut.
Tetapi kini dengan jebloknya Wall Street, bisa menjadi kode agar The Fed tidak terlalu agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Detik-Detik Pembacaan Risalah The Fed, Wall Street Stagnan