Efek Buruk Omicron Sudah Terasa di Australia, Dolarnya Jeblok

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 January 2022 10:40
Australian dollars are seen in an illustration photo February 8, 2018. REUTERS/Daniel Munoz
Foto: dollar Australia (REUTERS/Daniel Munoz)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dollar Australia jeblok lagi melawan rupiah di awal perdagangan Senin (24/1). Penyebaran penyakit akibat virus corona (Covid-19) khususnya varian Omicron sudah memberikan dampak buruk ke perekonomian Negeri Kanguru yang membuat mata uangnya tertekan.

Melansir data Refinitiv, dolar Australia pagi ini sempat jeblok 0,3% ke kisaran Rp 10.267/AU$ setelah merosot 0,6% pada Jumat pekan lalu.

Aktivitas bisnis di Australia menunjukkan pelambatan di awal tahun ini. Markit hari ini melaporkan aktivitas bisnis yang dilihat dari purchasing managers index (PMI) sektor manufaktur turun menjadi 55,3 dari bulan lalu sebesar 54,9.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi sementara di bawahnya artinya kontraksi.

Sektor manufaktur memang masih berekspansi meski melambat, tetapi sektor jasa mengalami kemerosotan tajam hingga kembali berkontraksi.

Markit melaporkan PMI sektor jasa merosot hingga menjadi 45 dari sebelumnya 55,1. Artinya terjadi penurunan lebih dari 10 poin.

Meski demikian, ING memprediksi sektor jasa Australia akan bisa pulih kembali dalam tempo satu bulan.

"PMI yang dirilis pagi ini melambat, khususnya sektor jasa, kenaikan kasus Covid-19 kemungkinan akan berdampak ke aktivitas meski tidak dilakukan lockdown seperti gelombang sebelumnya. Bukti menunjukkan dari populasi lainnya di mana kasus Omicron melonjak jika penyebaran terjadi sangat cepat tetapi hilang dengan cepat juga, sehingga sektor jasa akan kembali pulih dalam tempo satu bulan," tulis ING dalam Asia Moring Bytes, Senin (24/1).

Meski demikian, dolar Australia masih tertekan melawan rupiah sebab kemungkinan Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga lebih cepat ketimbang bank sentral Australia (RBA) semakin besar.

Hal tersebut terindikasi dari kebijakan BI yang akan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebanyak 3 kali di tahun ini pada Maret, Juni dan September.

Kebijakan tersebut bisa menjadi sinyal awal jika BI akan menaikkan suku bunga di tahun ini. Sebelum pengumuman kebijakan moneter BI kemarin, beberapa analis sudah memberikan proyeksi kenaikan suku bunga di pertengahan tahun ini.

"Saya memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate baru naik paling cepat Juni," ujar Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas.

"Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan baru terjadi pada semester II, sebanyak 50 basis poin (bps). Namun kenaikan ini akan tergantung dari perkembangan inflasi domestik," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Lalu Jeblok 4%, Dolar Australia Turun Lagi di Awal 2022

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular