BI Mulai Jadi 'Elang'?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 January 2022 15:04
Gubernur BI Perry Warjiyo  (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia)
Foto: Gubernur BI Perry Warjiyo (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kemarin mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Januari 2022. Hasilnya, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Keputusan ini sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Januari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG edisi Januari 2022, Kamis (20/1/2022).

Dengan demikian, suku bunga acuan telah bertahan di 3,5% sejak Februari 2021 atau hampir setahun. Ini adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia merdeka.


Namun ada sedikit kejutan yang diberikan, BI memutuskan bakal mulai menaikkan GWM secara bertahap pada Maret, Juni, dan September.

Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan, yang diperkirakan mencapai Rp 200 triliun. 

Langkah bisa menjadi sinyal awal BI akan mengetatkan kebijakan moneternya di tahun ini. MH Thamrin mulai mengambil posisi agresif alias hawkish.

Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi alasannya. Penyerapan likuiditas bisa membuat nilai tukar lebih kuat, dan menjadi langkah pertama menghadapi normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed).

Kejutan kecil dari BI ini juga sejalan dengan berubahnya pandangan BI terhadap kemungkinan kenaikan suku bunga di Amerika Serikat tahun ini. Pada RDG edisi Desember 2020, BI melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 1 kali saja di tahun ini, dan diperkirakan akan terjadi di kuartal III atau IV.

Tetapi hanya sebulan berselang, pandangan BI berubah. Kini Perry dan kolega melihat The Fed bisa menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini. Pandangan BI tersebut saat ini sejalan dengan ekspektasi pasar.

"Dari sisi fundamental, dan baca-bacaan kami, dari pandangan anggota The Fed, kemungkinan Federal Funds Rate naik tiga kali. Namun kami juga melihat pandangan pasar, dan ini kami pertimbangkan. Oleh karena itu, kami membuat kesimpulan baseline kami bahwa Federal Funds Rate naik empat kali pada tahun ini. Mulai Maret," terang Perry.

fedwatchFoto: CME Group

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat adanya probabilitas sekitar 88% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25%-0,5%.

Perangkat yang sama menunjukkan pasar melihat kenaikan suku bunga berikutnya bisa terjadi di bulan Juni, September dan Desember.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Notula The Fed Bikin Pandangan BI Berubah?

Pada RDG edisi Desember, BI bisa dikatakan masih santai merespon rencana normalisasi kebijakan The Fed. Saat itu bank sentral pimpinan Jerome Powell tersebut bertindak lebih agresif, nilai tapering ditambah menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya dari sebelumnya US$ 15 miliar. Sehingga program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang awalnya direncanakan selesai pertengahan 2022, berubah menjadi bulan Maret tahun ini.

The Fed melalui dot plot juga mengindikasikan akan menaikkan suku bunga akan 3 kali. Sekitar 12 Jam setelahnya, giliran BI yang mengumumkan hasil RDG. Seperti disebutkan sebelumnya, Perry melihat The Fed hanya akan menaikkan suku bunga satu kali saja di tahun ini.

Tetapi, hanya dalam tempo satu bulan pandangan BI berubah, kini The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali.

Berubahnya sikap BI bisa jadi akibat rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed edisi Desember awal bulan ini, yang ternyata The Fed bisa lebih agresif dalam menormalisasi kebijakannya.

Dalam notula rapat kebijakan moneter bulan Desember terungkap, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan.

"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).

Bank Investasi Morgan Stanley dalam laporannya 9 Januari lalu menyebutkan pengurangan nilai neraca bisa terjadi tidak lama setelah suku bunga dinaikkan.

"Rilis notula The Fed yang hawkish mencatat diskusi aktif apakah suku bunga akan dinaikkan lebih awal, dinaikkan lebih cepat, dan mulai mengurangi nilai neraca segera setelah kenaikan suku bunga pertama, hal ini lebih cepat dari yang diperkirakan pasar," tulis riset Morgan Stanley.

The Fed bisa dibilang full power dalam menormalisasi kebijakan moneternya. QE selesai bulan Maret, suku bunga dinaikkan dan nilai neraca dikurangi, semua kemungkinan akan dilakukan dalam tempo kurang dari 6 bulan.

The Fed mengurangi nilai neraca dengan menjual obligasi pemerintah AS (Treasury) yang dimiliki, sehingga likuiditas akan terserap. Ketika likuiditas ketat, yield Treasury bisa semakin tinggi, dan berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia. Jika itu terjadi maka rupiah akan tertekan.

Bisa jadi hal tersebut yang membuat sikap BI berubah. Demi menjaga stabilitas rupiah BI mulai bersiap mengetatkan kebijakan moneternya, dimulai dengan mengurangi likuiditas dengan menaikkan GWM.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Bank Sentral Dunia Mulai Nyaman Dengan Pengetatan Moneter

Morgan Stanley dalam risetnya menyatakan bank sentral dunia, mulai nyaman dengan sikap hawkish yang diambil. Sebabnya adalah pasar saham yang masih stabil hingga yield obligasi yang tidak naik tajam.

"Bank sentral semakin nyaman dengan kebijakan yang semakin hawkish. Pasar saham tidak anjlok, penyaluran kredit masih terjaga, dan kurva yield hingga Desember lalu tidak mengalami kenaikan tajam.

Tidak hanya itu, Morgan Stanley juga melihat pertumbuhan ekonomi tahun ini masih akan di atas tren, utamanya ditopang pertumbuhan di negara maju. Belanja konsumen yang membaik, investasi bisnis dan pulihnya rantai pasokan menjadi penopang pertumbuhan.

Selain itu, penyebaran virus corona kini dikatakan tidak akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, tingkat vaksinasi yang terus naik, perawatan pasien yang membaik, serta negara-negara sudah enggan melakukan lockdown.

Analis Morgan Stanley melihat tidak hanya The Fed yang agresif menaikkan suku bunga di tahun ini. Menurutnya, pasar saat ini melihat bank sentral Inggris akan menaikkan suku bunga 100 basis poin dalam 12 bulan ke depan, kemudian di Kanada akan ada kenaikan 139 basis poin.

Bank sentral Meksiko bahkan diperkirakan menaikkan suku bunga 245 basis poin, Polandia 150 basis poin, dan Selandia Baru 145 basis poin. Hanya Jepang yang merupakan negara maju di mana bank sentralnya diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini.

Sementara itu beberapa analis di dalam negeri memprediksi BI akan menaikkan suku bunga di pertengahan tahun ini. "Saya memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate baru naik paling cepat Juni," ujar Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas.

"Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan baru terjadi pada semester II, sebanyak 50 basis poin (bps). Namun kenaikan ini akan tergantung dari perkembangan inflasi domestik," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular