Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak melemah pada perdagangan Senin kemarin (17/1/2022), di tengah dirilisnya data ekonomi China dan Indonesia.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melemah 0,72% ke level 6.645,048. Pada awal perdagangan sesi I, IHSG sempat menguat dan menyentuh level tertinggi hariannya pada 6.711,822 pukul 09:00 WIB.
Namun, penguatan IHSG tak berlangsung lama. Selang beberapa menit setelah dibuka, IHSG langsung berbalik arah ke zona merah hingga penutupan perdagangan kemarin.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi IHSG pada kemarin hanya mencapai Rp 9,8 triliun. Sebanyak 203 saham menguat, 340 saham melemah, dan 137 saham mendatar.
Meski nilai transaksi kembali menurun, tetapi investor asing masih melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 284 miliar di pasar reguler.
Koreksi IHSG terjadi di tengah pergerakan variatif bursa utama Asia, di mana indeks KOSPI Korea Selatan memimpin koreksi sebesar 1,09%. Sebaliknya, Nikkei Jepang memimpin reli sebesar 0,74%.
Pelaku pasar di Asia bereaksi beragam terhadap rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) China yang per kuartal IV-2021 tumbuh 4%, atau lebih baik dari ekspektasi pasar dalam polling Reuters yang memprediksi pertumbuhan sebesar 3,6% secara tahunan.
Meski demikian, capaian kuartal terakhir tahun lalu itu masih terhitung melambat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB kuartal III-2021 yang naik 4,9% (secara tahunan). Di sisi lain, penjualan ritel Desember hanya tumbuh 1,7% atau jauh di bawah ekspektasi pasar sebesar 3,7%.
Sementara itu dari dalam negeri, ada rilis data ekonomi berupa neraca dagang Indonesia bulan Desember 2021 dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Ekspor Indonesia pada Desember 2021 tercatat tumbuh 35,3% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan impor naik 47,93% (YoY), sehingga neraca dagang mencatatkan surplus sebesar US$ 1,02 miliar.
Ketiga indikator di atas meleset dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dengan perkiraan ekspor serta impor tumbuh di 40,3% (YoY) dan 39,7% (YoY), di mana neraca dagang diperkirakan surplus US$ 3,05 miliar.
Sementara, rupiah ditutup melemah 20 poin atau 0,14% menjadi Rp 14.315/US$ pada Senin kemarin, dari penutupan perdagangan Jumat pekan lalu.
Adapun, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup variatif kemarin, karena investor merespons beragam sentimen dari sejumlah data ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2021.
Sikap investor di pasar obligasi pemerintah kembali beragam, di mana pada SBN bertenor satu tahun, lima tahun, 10 tahun, dan 20 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai oleh menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield).
Sebaliknya, SBN dengan jatuh tempo tiga tahun, 15 tahun, 25 tahun, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor. Hal ini ditandai oleh melemahnya harga dan kenaikan yield.
Bursa saham New York (NYSE) dan Nasdaq--atau singkatnya Wall Street-tutup alias tidak beraktivitas pada Senin (17/1) waktu AS untuk memperingati Hari Martin Luther King Jr (MLK).
Wall Street libur untuk menghormati hari jadi Martin Luther King Jr yang lahir pada 15 Januari 1929. Pasar obligasi AS juga tutup.
Sebagai informasi, Martin Luther King Jr adalah pemimpin gerakan hak sipil untuk menuntut kesetaraan antara kulit putih dan berwarna di AS selama periode 1955 hingga ia akhirnya tewas dibunuh pada 1968.
Hari MLK menjadi hari libur federal AS, yang diperingati pada Senin ketiga bulan Januari, setelah ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Reagan pada 1983 dan secara resmi berlaku mulai 1986.
Menurut penjelasan Marketwatch, kala itu bursa NYSE dan bursa utama lainnya tetap buka, dengan memberikan momen mengheningkan cipta selama satu menit di tengah hari.
Baru pada 19 Januari 1998, NYSE dan Nasdaq pertama kali memutuskan untuk mengambil libur sehari penuh dalam merayakan hari MLK.
Pasar saham AS sendiri mengalami awal yang sulit hingga awal tahun ini, seiring masalah yang terkait dengan varian Covid-19 Omicron yang terus menekan rantai pasokan dan biaya tenaga kerja. Pembalikan kebijakan menjadi hawkish ala The Fed dalam upaya untuk mengendalikan inflasi AS yang meninggi pun juga tampaknya tidak membantu.
Indeks Dow Jones telah melorot 1,3% sepanjang tahun ini, sedangkan S&P 500 telah ambles 2,6%. Nasdaq Composite menjadi yang terburuk, jatuh 5,5%, seiring saham teknologi terpukul di tengah tanda-tanda bahwa Fed akan mulai menaikkan suku bunga.
Secara historis, menurut Dow Jones Market Data yang dikutip Barron's, sejak dirayakan Wall Street pertama kali, indeks S&P 500 dan Dow memiliki rata-rata kenaikan sekitar 0,2% pada hari perdagangan sebelum libur MLK, dan turun 0,2% pada hari berikutnya.
Volatilitas perdagangan saham sendiri diperkirakan meningkat karena perusahaan akan merilis pendapatan kuartalan.
Hari MLK bisa dikatakan menjadi jeda singkat sampai musim pendapatan yang 'hot' ke depan. Sejumlah perusahaan besar, termasuk Goldman Sachs, UnitedHealth, Bank of America, Procter & Gamble, Morgan Stanley, American Airlines, dan Netflix dijadwalkan akan melaporkan pendapatan pada minggu ini.
Karena Wall Street tutup sehari, investor pasar modal RI dan Asia akan mencari acuan lainnya, seperti melalui pergerakan bursa saham utama Asia dan sejumlah rilis data ekonomi luar negeri hari ini.
Selain masih soal perkembangan kasus baru Covid-19 di RI, investor juga mengamati sejumlah data penting, terutama dari luar negeri.
Pertama, keputusan soal suku bunga Jepang yang akan dirilis bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) pada pukul 10.00 WIB. Konsensus pasar sepakat bank sentral Negeri Matahari Terbit masih akan tetap mempertahankan rezim suku bunga negatif (-0,1%) kali ini.
Melansir Reuters, BOJ telah mengatakan akan melanjutkan kebijakan ultra-longgar untuk mendukung ekonomi. Namun, pembuat kebijakan di Negeri Sakura itu juga dikabarkan terus memperdebatkan bagaimana mengkomunikasikan kepada publik soal kenaikan suku bunga nantinya.
Apalagi, target inflasi 2% yang disepakati sebelumnya bisa lebih cepat tercapai, didorong oleh kenaikan harga yang meluas dan pandangan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) yang lebih hawkish.

Kedua, investor juga akan menyimak sejumlah data ketenagakerjaan yang penting di Britania Raya pada pukul 14.00 WIB. Badan statistik Britania Raya akan mempublikasikan data penerima tunjangan pengangguran (Claimant Count Change), data perubahan pekerjaan, hingga tingkat pengangguran.
Tradingeconomics meramal, jumlah penerima tunjangan pengangguran akan berkurang 36.000 pada Desember 2021, dari sebelumnya pada November 2021 turun 49.800 yang merupakan penurunan kali kesembilan secara beruntun. Claimant Change berguna juga untuk menyajikan data jumlah orang yang menganggur di Inggris.
Selain Claimant Count Change, di Negeri Ratu Elizabeth II tersebut akan dirilis pula data tingkat pengangguran per November 2021. Konsensus pasar memprediksi, tingkat pengangguran di Britania Raya akan tetap di level 4,2%, sama seperti posisi Oktober 2021. Adapun secara historis, selama Mei-November 2021 tingkat pengangguran di Britania Raya terus menurun.

Lebih lanjut, banyak ekonom juga yang masih memperkirakan tingkat pengangguran Britania Raya akan turun pada awal 2022 menjadi hanya di bawah 4%, kembali ke tingkat pra-pandemi atau setara dengan sekitar 1,4 juta pengangguran.
Ketiga, pasar juga akan menunggu rilis data indeks sentimen ekonomi Uni Eropa (UE) dan Jerman per Januari 2022.
Untuk UE, indeks sentimen ekonomi teranyar diprediksi akan naik menjadi 29,5, dari posisi Desember 2021 sebesar 26,8. Apabila konsensus Januari tercapai, maka indeks sentimen ekonomi UE akan mencatatkan kenaikan selama 3 bulan beruntun atau sejak November 2021.
Kemudian, indeks sentimen ekonomi Jerman diramal akan naik ke posisi 32 pada Januari 2022 setelah pada bulan sebelumnya turun ke posisi 29,9 (dari posisi Oktober 2021 di 31,7).
Secara makro, melansir CNBC International, Jumat (14/1), ekonomi Jerman tumbuh sebesar 2,7% pada 2021 seiring masih adanya pandemi Covid-19, pembatasan terkait pandemi dan tekanan rantai pasokan.
Asal tahu saja, pada 2020, ekonomi terbesar Eropa tersebut sempat menyusut 4,6%--tahun pertama penguncian penuh (full lockdown) dan pembatasan sosial yang ketat akibat adanya Covid.
Namun, Badan Statistik Jerman mengatakan bahwa pertumbuhan Jerman masih 2% lebih rendah pada tahun 2021 dibandingkan pada tahun 2019, yang menunjukkan bahwa ekonomi belum kembali ke tingkat pra-pandemi.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Keputusan soal suku bunga Jepang (10.00 WIB)
Tingkat pengangguran Britania Raya (14.00 WIB)
Indeks sentimen ekonomi Jerman (17.00 WIB)
Indeks pasar perumahan AS (10.00 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Desember 2021, YoY) | 1,87% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Desember 2021) | US$ 144,9 miliar |
Sumber: Berbagai data resmi, diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA