Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dunia kelabu setelah Jerome 'Jay' Powell, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) memberikan sinyal terbaru perihal arah kebijakan moneter, khususnya suku bunga acuan.
Dalam Notula rapat atau minutes of meeting bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) edisi Desember 2021, Powel menyebutkan pasar tenaga kerja sudah sangat ketat dan inflasi terus meninggi. The Fed sepertinya harus menaikkan suku bunga acuan lebih cepat.
"Para peserta rapat secara umum mencatat bahwa tidak bisa menghindari kenaikan suku bunga acuan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta rapat juga mencatat sudah saatnya mengurangi beban neraca (balance sheet) setelah kenaikan Federal Funds Rate," sebut notula itu.
Pasar pun langsung bereaksi. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan dalam rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Maret 2022 mencapai 64,1%.
"Indikasi The Fed semakin khawatir dengan inflasi akan menciptakan pandangan bahwa mereka akan melakukan pengetatan kebijakan secara agresif pada 2022. Lebih hawkish dari dugaan," kata David Carter, Chief Investment Officer di Lenox Wealth Adivisors yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Kenaikan suku bunga acuan membuat imbal hasil instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi akan ikut terkerek. Hasilnya, arus modal meninggalkan pasar saham dan hinggap ke obligasi pemerintah AS.
Tak ayal, bursa saham AS, tiga indeks utama anjlok. Dow Joes Industrial Average (DJIA) ambles 1,07%, S&P 500 berkurang 1,94%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,34%. Nasdaq membukukan koreksi harian terparah sejak Februari tahun lalu.
Halaman Selanjutnya --> Rupiah Melemah Tapi Tak Akan Dalam
Situasi ini jelas merembet ke Indonesia. Pasar keuangan dalam negeri, baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun nilai tukar rupiah berada lesu. Tak sanggup menahan sentimen negatif dari AS tersebut.
Pada Kamis (6/1/2022), US$ 1 dibanderol Rp 14.385 di pasar spot. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan dengan penutupan perdagangan Rabu (5/11).
"Investor asing khususnya tentu akan memindahkan portfolio asetnya dari sini. Ini sudah terlihat dari posisi kepemilikan asing di SUN saat ini," ungkap Ekonom Maybank Myrdal Gunarto kepada CNBC Indonesia.
Meski demikian, Myrdal menilai pasar obligasi domestik masih terjaga gejolak di pasar keuangan. Di samping tingginya partisipasi Bank Indonesia (BI) dan perbankan domestik yang memiliki likuiditas berlimpah.
Pelemahan rupiah diperkirakan masih akan berlangsung ke depan. Namun Myrdal meyakini pelemahannya tidak terlalu dalam, seiring rendahnya kepemilikan asing pasar surat utang negara dan ekspor yang masih berada pada tren positif.
"Dengan eksposur investor asing yg tidak sekuat beberapa tahun lalu, plus ditambah lagi dengan performa ekspor yang masih cukup baik seiring harga komoditas andalan lokal yang masih tinggi, maka USD/IDR diproyeksikan masih akan berada di kisaran 14200-14600 pada tahun ini," jelas Myrdal.
Apalagi kepemilikan asing dalam surat utang negara yang semakin menipis. Data DJPPR menunjukkan porsi kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) turun secara gradual dari sebelumnya di level 40%.
Hingga awal Desember 2021, porsi asing berada di bawah 20%. Porsi asing diambil oleh perbankan dalam negeri yang alami kenaikan menjadi 25,91% per 9 Desember 2021. Selain perbankan, ada Bank Indonesia (BI) serta asuransi dan dana pensiun yang juga menambah porsi pada kepemilikan surat utang.
Halaman Selanjutnya --> Apa yang Terjadi dengan RI Bila Suku Bunga AS Naik?
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana menjelaskan kekhawatiran akan ketidakpastian ke depan masih cukup tinggi. Sehingga pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) beserta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap harus bersiap.
"Ke depan, stabilitas di pasar keuangan Indonesia akan bergantung dari seberapa besar perubahan sektor eksternal, tekanan inflasi, serta respon kebijakan dari otoritas moneter-fiskal Indonesia atas apa yang akan dilakukan oleh The Fed," terangnya.
Kenaikan suku bunga acuan AS mendorong terjadinya outflow dari Indonesia. Sebab dengan rentang yang semakin sempit, pasar keuangan Indonesia tentunya menjadi kurang menarik.
Akan tetapi apabila ini direspons oleh BI dengan menaikkan suku bunga acuan, maka bisa memukul perekonomian tanah air. Bunga kredit akan meningkat dan merusak momentum pemulihan ekonomi yang kini masih berjalan. Indonesia baru saja pulih dari pandemi Covid-19.
Di sisi lain, harga komoditas diperkirakan tidak akan setinggi tahun lalu seiring dengan pengetatan moneter oleh negara maju. Sehingga capaian positif pada transaksi berjalan sulit kembali terulang.
"Sementara itu, perbaikan pada arus investasi asing langsung belum tentu dapat menutupi kinerja perdagangan yang berkurang. Dengan demikian, nilai tukar Rupiah berpotensi melemah hingga Rp 14.630/US$ pada tahun ini," pungkasnya.