2021 In Review

Jadi Idola di Tahun Ini, 2022 Dolar AS Bakal 'Kiamat'?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 December 2021 09:20
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) masih menjadi mata uang favorit di tahun ini. Indeks dolar AS sepanjang tahun ini mencatat penguatan sekitar 6,7%. Artinya, the greenback menguat signifikan melawan mata uang utama. Penguatan tersebut juga menjadi yang terbesar sejak tahun 2015.

Pada 2022, dolar AS juga masih diunggulkan. Namun ada juga analis yang mengatakan dolar AS akan menghadapi 'kiamat'. 

Status aset aman (safe haven) yang disandang dolar AS membuatnya menjadi pilihan investasi di saat perekonomian global dipenuhi ketidakpastian. Namun, meski dolar AS menjadi favorit, pelemahan rupiah tidak terlalu besar. 

Bahkan, saat bank sentral AS (The Fed) mengumumkan percepatan normalisasi kebijakan moneter serta mengindikasikan kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan, rupiah masih tetap tegar melawan dolar AS.

dxy

Sepanjang tahun ini hingga Kamis (30/12) kemarin, dolar AS hanya menguat 1,6% saja melawan dolar AS di Rp 14.265/US$.

Bahkan melawan mata uang utama lainnya, kinerja rupiah juga cukup bagus di tahun ini. Melawan mata uang Eropa, euro dibuat melemah 6%, kemudian melawan poundsterling menguat stagnan.

Yen yang merupakan mata uang safe haven dibuat jeblok hingga nyaris 9%. Kemudian duo dolar Singapura dan Australia juga dibuat melemah 0,8% dan 4,16%.
Hanya yuan China yang menguat cukup tajam melawan rupiah, nyaris 4%.

Berikut pergerakan mata uang dunia sepanjang tahun ini hingga Kamis kemarin pukul 16:45 WIB.

Melihat data tersebut, hanya dolar AS, dolar Kanada, yuan China dan dolar Taiwan yang menguat melawan rupiah di tahun ini.

Artinya, kinerja rupiah cukup bagus, 'ternak' dolar AS memang masih menghasilkan cuan, tetapi tipis saja. Padahal The Fed akan agresif dalam melakukan normalisasi kebijakan moneternya.

Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/12) dini hari, The Fed memutuskan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) diperbesar menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya dari sebelumnya US$ 15 miliar.

Dengan keputusan tersebut, maka QE The Fed yang sebelumnya direncanakan berakhir pada pertengahan tahun depan berubah menjadi bulan Maret 2022.

Kemudian untuk suku bunga, dilihat dari Dot Plot anggota Federal Open Market Committee (FOMC), akan ada tiga kali kenaikan suku bunga di tahun depan.

The Fed setiap akhir kuartal akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota FOMC terhadap suku bunga.

Dalam dot plot kali ini, sebanyak 12 dari 18 anggota FOMC melihat suku bunga bisa dinaikkan sebanyak 3 kali di tahun depan. Kemudian pada 2023 akan ada kenaikan 2 kali lagi, begitu juga pada 2024. Sehingga dalam tiga tahun ke depan akan ada tujuh kali kenaikan suku bunga.

Suku bunga The Fed saat ini sebesar 0-0,25%, jika setiap kali kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%), maka di akhir 2024 suku bunga The Fed sebesar 1,75% - 2%.

Dengan panduan kebijakan moneter yang hawkish, dolar AS justru hanya menguat 1,6% saja melawan rupiah. Lantas, apakah hal tersebut menjadi sinyal dolar AS akan terpuruk di tahun depan, dan rupiah malah menguat?

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 2022 'Ternak' Dolar AS Masih Favorit, Tapi...

The Fed yang agresif menaikkan suku bunga membuat dolar AS masih menjadi favorit di tahun 2022. Tetapi penguatannya kemungkinan tidak akan besar, terutama berhadapan dengan rupiah.

Menurut hasil riset DBS Group Research, rupiah bisa melemah ke Rp 15.000/US$. Dari posisi akhir perdagangan Kamis kemarin, artinya akan ada pelemahan sekitar 5%.

Tetapi tidak menutup kemungkinan juga dolar AS malah melemah melawan rupiah. Sebab, harga komoditas di tahun depan diprediksi masih tetap tinggi, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) yang masih atraktif.

Kenaikan harga komoditas di tahun ini membuat neraca dagang Indonesia mencetak surplus selama 19 bulan beruntun.

Surplus tersebut akan membantu transaksi berjalan (current account) Indonesia agar tidak mengalami defisit yang besar bahkan bisa mencatat surplus. Defisit transaksi berjalan yang tidak besar atau jika bisa surplus akan memberikan dampak positif ke rupiah.

Bank ANZ memprediksi di akhir 2022, rupiah bakal semakin dekat dengan Rp 14.000/US$. "Melihat 2022, harga komoditas masih akan kuat menopang ekspor. Tetapi, dengan perekonomian yang mulai berputar, impor akan tumbuh yang menyebabkan menurunnya surplus," kata analis ANZ sebagaimana dilansir FXStreet, Rabu (15/12).

Selain itu analis tersebut juga melihat virus Omicron bisa menentukan langkah rupiah.

"Jika Omicron menjadi lebih berbahaya, itu akan merusak sentimen dan aliran modal ke pasar obligasi Indonesia di saat The Fed mulai menormalisasi kebijakan moneternya. Namun, jika Omicron hanya menimbulkan gejala ringan dan The Fed melakukan normalisasi dengan teratur, maka rupiah akan lolos dari tekanan," katanya.

Sementara itu Bank Morgan Stanley memberikan rekomendasi beli dollar AS melawan mata uang dengan imbal hasil (yield) yang rendah, seperti euro.

Pasar juga sudah melihat tersebut, terlihat dari posisi spekulatif dolar AS melawan mata uang utama yang memiliki yield rendah, dibandingkan dengan mata uang emerging market dengan yield tinggi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Posisi Spekulatif Dolar AS Mulai Tergerus

Selain itu, belakangan ini posisi spekulatif pada pelaku pasar, di mana mengalami kenaikan tipis beberapa hari menjelang pengumuman kebijakan monter The Fed Padahal, isu percepatan normalisasi kebijakan moneter sudah berhembus kencang beberapa hari sebelumnya.

Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) AS menunjukkan posisi beli bersih (net long) dolar AS naik menjadi US$ 19,51 miliar dalam sepekan yang berakhir 14 Desember, dari pekan sebelumnya sebesar US$ 19,46 miliar.

Kenaikan tersebut terbilang kecil jika melihat The Fed yang agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya. Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS terhadap yen, poundsterling, euro, franc, dolar Kanada dan Australia.

Sementara untuk posisi spekulatif terhadap mata uang yang lebih luas, termasuk beberapa mata uang emerging market, posisi net long dolar AS malah turun menjadi US$ 19,67 miliar dari sebelumnya US$ 19,9 miliar.


Data tersebut menunjukkan daya tarik dolar AS mulai terkikis, terutama di hadapan mata uang emerging market yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Hal tersebut tidak lepas dari tingginya inflasi di Amerika Serikat yang membuat riil yield masih akan negatif meski The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan.

Saat ini yield Treasury tenor 10 tahun berada di 1,5%. Jika tahun depan The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali sebesar 75 basis poin, hitung-hitungan kasar yield Treasury juga akan ikut naik 75 basis poin sehingga menjadi sekitar 2,25%.

Sementara inflasi di tahun depan, The Fed memperkirakan sebesar 2,6%. Lagi-lagi hitungan kasar, riil yield di AS masih akan negatif sekitar 0,35%.

Itu jika inflasi mampu ditekan hingga 2,6%, sementara banyak analis yang memprediksi inflasi di Amerika Serikat masih akan tetap tinggi di tahun depan. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat pada bulan November tumbuh 6,8% year-on-year (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982 lainnya.

Sementara inflasi dijadikan acuan The Fed berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan November melesat 5,7% (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982. Inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.

Artinya, jika inflasi masih tinggi, maka riil yield di AS masih akan negatif cukup dalam, sehingga tetap kurang menarik jika dibandingkan dengan riil yield negara emerging market yang tinggi, seperti Indonesia misalnya.

Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3%. Direktur Riset BRI Research Institute, Anton Hendranata memprediksi inflasi domestik di tahun 2022 bisa menyentuh 2,8% -3,3%.

Meskipun inflasi di tahun depan diperkirakan akan meningkat, riil yield masih akan tetap positif sekitar 3%. Artinya, selama roda perekonomian global tidak terganggu lagi akibat virus corona Omicron, maka ada risiko dolar AS akan 'dibuang'.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 'Raja' Obligasi Gundlach Sebut Dolar AS Bakal 'Kiamat'

Jeffrey Gundlach, CEO Double Line Capital, beberapa bulan lalu memprediksi dolar AS akan mengalami 'kiamat' dalam jangka menengah. Gundlach yang dijuluki 'Raja Obligasi' melihat defisit Amerika Serikat baik itu defisit perdagangan ataupun defisit fiskal yang terus menanjak akan menjadi pemicu penurunan tajam dolar AS.

"Pada akhirnya, besarnya defisit kita (Amerika Serikat), baik defisit perdagangan yang melonjak pasca pandemi, dan defisit fiskal, yang jelas sangat tinggi, menunjukkan dalam jangka menengah, saya tidak berfikir tahun ini, tetapi jangka menengah, dolar AS akan mengalami penurunan yang besar," kata Gundlach dilansir CNBC International 15 Juli lalu.

Data dari Departemen Perdagangan AS menunjukkan defisit neraca perdagangan barang di bulan November mencapai US$ 97,8 miliar, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kenaikan dari bulan sebelumnya juga sangat tajam, sebesar 17,5% dari US$ 83,2 miliar di bulan Oktober.

Sementara itu defisit fiskal AS di tahun ini mencapai US$ 2,77 triliun, tertinggi kedua sepanjang sejarah. Sementara rekor defisit sebesar US$ 3,13 triliun tercatat pada tahun lalu.

Gundlach yang mengelola aset senilai US$ 135 miliar per 31 Maret lalu, melalui Double Line Capital tersebut melihat dalam jangka pendek di tahun ini dolar AS memang masih menjadi favorit.

"Pertanyaannya sekarang, sejauh mana horison anda. Untuk jangka pendek, tentu saja dinamika yang terjadi masih membuat dolar AS menguat secara moderat. Tetapi untuk jangka panjang, saya pikir dolar AS akan 'kiamat'," kata Gundlach.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular