Amerika "Senggol" China Lagi, Perang Dagang Bakal Berkobar?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
27 December 2021 15:53
Setelah Raja Arab & Trump, Xi Jinping Telpon Jokowi! Ada Apa?
Foto: Infografis/Setelah Raja Arab & Trump, Xi Jinping Telpon Jokowi! Ada Apa?/Aristya Rahadian Krisabella

Ketidakpastian seputar perang perdagangan dua raksasa ekonomi terbesar dunia ini telah merugikan bisnis dan membebani ekonomi global.

Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa konsumen merupakan korban utama dari parang tarif. Tarif pada produk konsumen menghantam pelanggan secara langsung, sementara tarif bahan mentah dapat menghasilkan penundaan atau lonjakan harga yang berputar di seluruh perekonomian, mengganggu rantai pasokan yang kompleks dan sensitif terhadap waktu. Perlambatan apa pun dalam rantai pasokan dapat berarti PHK bagi produsen dan pukulan bagi ekonomi yang lebih luas.

Kenaikan tarif umum dari perang dagang dapat mempengaruhi tidak hanya harga yang dibayar konsumen akhir, tetapi juga biaya bagi perusahaan yang menggunakan barang-barang tersebut sebagai input untuk produksi.

Chad P. Bown dan Melina Kolb, ekonom di Peterson Institute for International Economics, dalam risetnya mengungkapkan bahwa AS mengenakan tarif pada 67% impor barang setengah jadi dan barang modal dari China (mewakili 62% dari total impor China yang ditargetkan), dan China juga mengenakan tarif pada 67% barang setengah jadi dan barang modal dari AS (mewakili 81% impor AS ditargetkan).

Prospek eskalasi perang dagang yang lebih lanjut berisiko secara signifikan menghambat perdagangan dan investasi, dan mungkin akan melebar ke ekonomi global.

Bagi Indonesia yang masih bergantung pada China sebagai mitra dagang utama, perang antara AS dan China ini dapat memberikan dampak yang cukup berat. Pengenaan tarif atau larangan impor produk setengah jadi China, akan memberikan dampak negatif apabila produk tersebut menggunakan bahan mentah yang diekspor dari Indonesia, karena perusahaan akan mengurangi kuota produksi. Penurunan ekspor pada akhirnya akan memperlemah neraca dagang Indonesia.

Meskipun demikian perang dagang juga dapat memberikan peluang baru bagi Indonesia untuk memenuhi kuota produk impor bagi AS dan China yang dikenai tarif oleh masing-masing negara, tentu dengan catatan Indonesia mampu memproduksi dan memanfaatkan keterbukaan ekonomi yang muncul.

Muhammad Rizal Taufikurahman dan Ahmad Heri Firdaus dalam penelitiannya di International Conference on Trade 2019 (ICOT 2019) mengatakan bahwa Indonesia belum mampu memanfaatkan situasi perang dagang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi (PDB) yang diproyeksikan hanya meningkat 0,01%.

Kedua peneliti tersebut mengatakan Indonesia masih perlu berbenah, agar investasi di sektor riil tetap mengalir deras meski perang dagang China-AS belum usai. Rekomendasi tersebut menyarankan bahwa dalam jangka pendek strategi yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya saing ekspor, mendorong produktivitas industri yang berorientasi ekspor, memperluas dan memperkuat pasar domestik dan dunia, serta mengendalikan jumlah impor.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular