Amerika "Senggol" China Lagi, Perang Dagang Bakal Berkobar?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
27 December 2021 15:53
Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)
Foto: Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)

Perang dagang antara AS dan China terjadi karena Presiden AS Donald Trump telah lama menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual. Sementara itu di Cina sendiri ada persepsi bahwa Amerika sedang berusaha mengekang kebangkitan mereka sebagai kekuatan ekonomi global.

Negosiasi hubungan kerja sama dagang tersebut masih berlanjut hingga hari ini, akan tetapi terbukti sulit untuk diselesaikan secara tuntas. Pada bulan Januari tahun 2020 lalu, kedua belah pihak memang telah menandatangani kesepakatan awal tetapi beberapa masalah paling sulit tetap belum terselesaikan.

Perang perdagangan AS-China dimulai pada Juli 2018 di bawah pemerintahan presiden AS kala itu, Donald Trump, yang akhirnya menyasar kenaikan tarif terhadap barang-barang China senilai US$ 550 miliar, dengan China juga menetapkan tarif pada US$ 185 miliar barang-barang AS.

Juli 2018, AS menempatkan bea masuk 25 persen pada US$ 34 miliar barang impor dari China, termasuk mobil, hard disk dan suku cadang pesawat. China membalas dengan mengenakan tarif 25 persen pada 545 barang asal AS senilai US$ 34 miliar dolar AS, termasuk produk pertanian, mobil, dan produk akuatik.

Selanjutnya pada Agustus 2018, Washington kembali mengenakan tarif 25 persen pada barang-barang China lainnya senilai US$ 16 miliar, termasuk produk besi dan baja, mesin listrik, produk kereta api, instrumen dan peralatan. China merespons dengan menerapkan tarif 25 persen pada barang-barang AS senilai US$ 16 miliar, termasuk sepeda motor Harley-Davidson, bourbon, dan jus jeruk.

Bulan September 2018, AS mulai mengenakan pajak 10 persen atas impor China senilai US$ 200 miliar, sementara China merespons dengan mengenakan bea masuk atas barang-barang AS senilai US$ 60 miliar.

Akhir tahun 2018, Presiden Xi Jinping dan Donald Trump menyetujui 'gencatan senjata' perang dagang selama 90 hari untuk memungkinkan pembicaraan lebih lanjut guna mengatasi kekhawatiran AS setelah China berkomitmen untuk membeli sejumlah besar ekspor Amerika.

Bulan Mei 2019, setelah negosiasi perdagangan gagal, AS menaikkan tarif barang-barang China senilai US$ 200 miliar dari 10 persen menjadi 25 persen. China merespons dengan mengumumkan akan menaikkan tarif barang-barang AS senilai US$ 60 miliar.

Departemen Perdagangan AS mengumumkan penambahan Huawei Technologies Co. ke 'daftar entitas', yang secara efektif melarang perusahaan AS menjual teknologi ke perusahaan telekomunikasi China tanpa persetujuan.

Setelah pertemuan G-20 di Jepang pada Juni 2019, Donald Trump mengatakan hasilnya "lebih baik dari yang diharapkan", dengan China mengatakan AS telah setuju untuk tidak mengenakan tarif lebih lanjut pada barang-barangnya.

Tiga bulan setelahnya, AS dengan cepat melabeli China manipulator mata uang, setelah yuan jatuh di bawah ambang batas utama 7 yuan/US$, level yang sebelumnya dipertahankan bank sentral China (PBOC). Ini adalah pertama kalinya kurs jatuh di bawah level psikologis penting sejak 2008.

Pada bulan yang sama, China mengumumkan tarif 5 dan 10% untuk barang-barang AS senilai US$ 75 miliar mulai 1 September dan 15 Desember 2019. China juga menegaskan akan memberlakukan kembali tarif pada mobil dan suku cadang AS mulai 15 Desember 2019.

Pada September 2019, China mengumumkan akan menawarkan pengecualian untuk 16 jenis impor AS dari tarif tambahan, yang mencakup produk-produk seperti pestisida, pakan ternak, pelumas, dan obat kanker. Donald Trump setuju untuk menunda tarif baru atas barang-barang China senilai US$ 250 miliar mulai 1 Oktober hingga 15 Oktober sebagai isyarat niat baik untuk menghindari kekacauan dalam peringatan 70 tahun Republik Rakyat China.

Januari 2020, AS dan China setuju untuk berdamai dengan kesepakatan perdagangan fase satu dengan ketentuan yang mencakup komitmen pembelian, akses pasar keuangan, perlindungan dan penegakan kekayaan intelektual.

Mei 2020, China mengumumkan gelombang kedua pembebasan tarif perang dagang terhadap 79 produk secara total dalam daftar, termasuk bijih mineral tanah jarang, peralatan radar pesawat, suku cadang semikonduktor, desinfektan medis, dan berbagai produk logam mulia, kimia, dan petrokimia.

September 2020, lusinan produk impor dari China diberikan perpanjangan pendek oleh AS termasuk masker wajah sekali pakai, respirator, perangkat pelacak Bluetooth, dan alat musik.

Pada bulan yang sama pemerintah AS kembali mengumumkan pembatasan baru pada impor produk, terutama kapas dan pakaian jadi, dari wilayah otonomi Xinjiang di mana populasi Uygur tinggal, dengan alasan kekhawatiran atas dugaan pelanggaran HAM yang meluas.

Pada Desember 2019, AS memblokir impor barang kapas yang diproduksi oleh pemasok terkemuka China di Xinjiang, Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC), yang bertanggung jawab atas sepertiga produksi kapas China, dituduh melakukan penggunaan kerja paksa secara luas.

Sebelum resmi dikukuhkan sebagai Presiden AS, pada Desember 2020 dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Presiden terpilih AS Joe Biden mengatakan "strategi terbaik" adalah membuat semua sekutu tradisional AS di Asia dan Eropa "memiliki pemahaman yang sama", dan menegaskan tidak akan melakukan "langkah segera untuk menaikkan tarif".

Bulan Juni tahun ini, wakil Perdana Menteri China Liu He dan Perwakilan Dagang AS Katherine Tai berbicara melalui telepon, dengan Beijing menekankan pentingnya mengembangkan perdagangan bilateral. Kedua belah pihak sepakat bahwa hubungan ekonomi China-AS "sangat penting", dan diskusi termasuk situasi ekonomi makro, serta kerja sama bilateral dan multilateral perlu dilalukan "dalam sikap kesetaraan dan saling menghormati".

HALAMAN SELANJUTNYA >>>>

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular