Coba Bayangkan, Apa yang Terjadi Jika Nilai Bitcoin Nol?

chd, CNBC Indonesia
Selasa, 21/12/2021 07:45 WIB
Foto: Ilustrasi Bitcoin (Photo by André François McKenzie on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bitcoin hingga kini masih belum mampu kembali ke level psikologisnya di US$ 50.000. Di mana per Selasa (21/12/2021) pagi saja, Bitcoin kembali diperdagangkan di kisaran level US$ 46.000.

Dalam sepekan terakhir, rentang pergerakan Bitcoin berada di kisaran US$ 45.000-49.000. Pada Kamis pekan lalu, Bitcoin kembali mencoba menembus kembali level kisaran US$ 50.000 dan nyaris menyentuhnya, tetapi hanya mampu bertahan di kisaran level US$ 49.000 pada saat itu.


Hal ini karena pergerakan Bitcoin diperberat oleh sentimen negatif di pasar keuangan global. Hal itu yang membuat investor cenderung menahan selera risikonya dalam beberapa hari terakhir.

Sentimen negatif yang pertama yakni potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral di beberapa negara maju. Seperti contoh bank sentral Amerika Serikat (AS), bank sentral Eropa, dan bank sentral Inggris.

Pada pekan lalu, yakni Kamis dini hari waktu Indonesia, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menegaskan bahwa pihaknya akan mempercepat proses pengurangan pembelian aset (quantitative easing/QE) atau tapering mulai bulan Desember tahun ini.

Meskipun tapering dipercepat, tetapi The Fed tidak akan menaikan suku bunga acuannya pada tahun ini. The Fed baru akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya pada pertengahan tahun 2022.

Sejalan dengan The Fed, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) juga akan mengurangi pembelian obligasinya. Tetapi pengurangan pembelian obligasi ini hanya untuk dana darurat pandemi saja, sedangkan untuk pembelian aset masih akan dilakukan oleh ECB.

Namun untuk bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sendiri sudah lebih dahulu bersikap hawkish, di mana bank sentral Negeri Jam Big Ben tersebut telah menaikkan suku bunga acuannya dari 0,1% menjadi 0,25%. Hal ini juga menjadi kenaikan yang pertama di antara bank sentral negara maju sejak era pandemi di tengah lonjakan inflasi negara tersebut.

Pemicu perubahan kebijakan moneter menjadi ketat tersebut terjadi setelah inflasi Inggris per November menyentuh level tertinggi 10 tahun pada 5,1% atau lebih tinggi dari target BoE yang memperkirakan angka 2%. Ini juga lebih tinggi dari posisi Oktober sebesar 4,2%.

Sentimen negatif yang kedua yakni terkait perkembangan seputar virus corona (Covid-19) varian Omicron. Investor kembali khawatir akan adanya potensi kembali diberlakukannya pembatasan sosial (lockdown) di beberapa negara maju.

Di Eropa, mayoritas negara-negara di kawasan tersebut telah melakukan langkah-langkah darurat untuk membendung varian Omicron. Di Belanda, pemerintah setempat telah memberlakukan kembali lockdown mulai Minggu kemarin hingga 14 Januari 2022.

Sementara di Inggris, Walikota London Sadiq Khan mengumumkan status "insiden besar" pada Minggu kemarin, menyusul lonjakan infeksi Covid-19 akibat varian Omicron. Dia pun mempertimbangkan untuk kembali memberlakukan lockdown.

"Jika tak memberlakukan pembatasan baru lebih cepat dan malah menunda-nunda, anda akan melihat lebih banyak kasus positif dan berpotensi membuat layanan publik seperti NHS [National Health Service] di jurang keambrukan, jika tidak ambruk saat itu juga," tuturnya kepada BBC, Minggu (19/12/2021).

Bukan hanya di Belanda dan Inggris, negara di Eropa lainnya seperti Prancis, Siprus, Irlandia, Denmark, dan Austria juga memperketat pembatasan kegiatan masyarakat. Di Prancis, pemerintah kota Paris pun membatalkan acara kembang api pada Malam Tahun Baru 2022, sedangkan Denmark telah menutup kembali teater, gedung konser, taman hiburan, dan museum.

Tak hanya sentimen negatif saja, banyak pihak yang juga seakan membenci akan keberadaan Bitcoin. Ramalan-ramalan beberapa pengamat pun cenderung negatif ke Bitcoin.

Salah satunya yakni Eswar Prasad, profesor senior kebijakan perdagangan internasional Cornell University. Dia mengatakan bahwa Bitcoin akan berumur pendek.

"Bitcoin sendiri mungkin tidak bertahan lebih lama," kata Prasad dalam wawancara 'Squawk Box Europe', dikutip dari CNBC International, akhir pekan lalu.

Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi itu. Bitcoin kurang ramah lingkungan dan tidak efisien.

"Penggunaan Bitcoin atas teknologi blockchain sangat tidak efisien," kata penulis "The Future of Money: How the Digital Revolution is Transforming Currencies and Finance" itu. "Jejak karbon Bitcoin lebih besar dari seluruh Selandia Baru."

Bitcoin juga dikatakannya tak berfungsi dengan baik sebagai alat tukar. Ia berujar tak ada nilai fundamentalnya.

"Mengingat bahwa Bitcoin tidak berfungsi dengan baik sebagai alat tukar, saya tidak berpikir itu akan memiliki nilai fundamental selain dari keyakinan investor apa pun yang dimilikinya," kata Prasad lagi.

Ia yakin Bitcoin akan tergerus ratusan kripto lain yang kini muncul dengan sejumlah keunggulan. Namun, ia tak memungkiri Bitcoin telah memicu revolusi yang menguntungkan, langsung maupun tidak langsung.


(chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: OJK Awasi Ketat Kripto, Fokus pada Aktivitas Domestik

Pages