Wow! Nilai Merger Startup di ASEAN Tembus Rp 1.068 T

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
07 December 2021 18:35
start up
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren perusahaan rintisan (startup) teknologi yang melakukan penggabungan usaha (merger) dan akuisisi di Asia Tenggara pada tahun ini diyakini makin semarak. Nilainya diperkirakan mencapai US$ 75 miliar atau Rp 1.068 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.250 per US$.

Direktur Treasury & International Banking PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Panji Irawan menyatakan, asumsi perhitungan tersebut didasarkan pada ramainya aksi merger dan akuisisi sepanjang tahun 2020 dan beberapa di tahun ini.

Misalnya, Gojek mengakuisisi perusahaan lokal mobile point of sales, Moka senilai US$ 130 juta. Selain itu, Qontak yang diakuisisi oleh Mekari dan Bizzy yang diakuisisi oleh Warung Pintar.

Panji menuturkan, di Indonesia terjadi peningkatan yang signifikan dari sisi jumlah perusahaan rintisan. Apalagi, nilai ekonomi digital di Tanah Air, berdasarkan riset Google, pada 2025 akan mencapai US$ 125 miliar. Nilai itu sekitar Rp 1.780 triliun.

"Nilai ekonomi digital diperkirakan mencapai 8,1% dari total PDB Indonesia," ungkap Panji Irawan, di acara Startup IPO Whitepaper berjudul 'The Billion Dollar Moment: A Paradigm Shift for Indonesian IPOs yang diselenggarakan Mandiri Grup, Selasa (7/12/2021).

Panji menambahkan, melalui Startup IPO Whitepaper, Mandiri Group ingin menyampaikan bahwa IPO atau public listing juga merupakan salah satu strategi exit yang baik untuk dipertimbangkan.

"IPO sektor teknologi akan memberi dampak pada perekonomian. Kami harapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ekonomi digital dan pendalaman keuangan," ujarnya.

Nilainya diperkirakan mencapai US$ 75 miliar atau Rp 1.068 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.250 per US$.Foto: Startup IPO Whitepaper Bank Mandiri
Nilainya potensi merger dan akuisisi diperkirakan mencapai US$ 75 miliar atau Rp 1.068 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.250 per US$.

Whitepaper IPO Mandiri Group menjelaskan dampak positif yang diberikan kepada perekonomian Indonesia secara keseluruhan, jika Startup teknologi melakukan IPO di BEI, walaupun tetap terdapat tantangan menjadi perusahaan publik seperti pengawasan yang lebih ketat, potensi untuk memiliki kendali yang lebih kecil, risiko pasar, dan persiapan IPO yang cukup mahal melalui IPO di BEI. 

Meskipun M&A untuk industri startup teknologi sedang tumbuh pesat di Asia Tenggara, seperti yang baru saja melantai di bursa Nasdaq yaitu Grab, namun jumlah Startup yang IPO di Indonesia juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan selama 4 tahun belakangan ini.

Tren IPO diprediksikan akan tetap bertumbuh karena adanya dukungan dari Pemerintah Indonesia seperti perusahaan tidak harus mempunyai laba untuk terdaftar secara publik dan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) juga mengurangi dan menyederhanakan proses persyaratan perijinan.

Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menerbitkan aturan mengenai penerapan klasifikasi saham dengan hak suara multipel oleh emiten atau multi voting share (MVS). Adanya aturan ini akan mengakomodasi perusahaan rintisan unicorn untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Sejumlah perusahaan teknologi lokal yang baru saja IPO di BEI, adalah Bukalapak, Cashlex, DIVA, Kioson dan beberapa perusahaan lain. Perusahaan rintisan lainnya seperti Traveloka dan GoTo sudah ada dalam tahap menuju IPO.

Meski demikian, Head of Equity Research PT Mandiri Sekuritas Adrian Joezer berpendapat, di tahun depan masih ada risiko yang membayangi pelaku pasar, yakni kebijakan tapering off bank sentral AS, The Federal Reserve yang berpotensi berdampak pada terganggunya likuiditas di pasar saham, terutama pada minat investasi investor di IPO perusahaan-perusahaan rintisan teknologi domestik.

"Tapering sudah pasti akan terjadi, terjadi pengaruh ke sentimen BEI dan keputusan investor dalam menentukan pricing," beber Adrian.

Namun demikian, kata Adrian, selama proses penentuan harga tersebut berjalan sesuai dengan mekanisme pasar, maka risiko dari tapering akan cenderung terbatas. Sebab, di Indonesia indeks perusahaan teknologi yang masuk dalam indeks MSCI Indonesia masih sangat jarang.

"Selama pricing dilakukan sesuai market mechanism, itu tidak masalah. Kebutuhan demand masuk baru itu ada, tapering pengaruh dari sisi bagaimana proses tawar menawar bookbuilding," ungkapnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular