Omicron Mengintai, Ekonomi Global di 2022 Aman atau Suram?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
06 December 2021 13:54
Kemunculan kasus virus Omicron di Amerika Serikat. (AP/Jae C. Hong)
Foto: Kemunculan kasus virus Omicron di Amerika Serikat. (AP/Jae C. Hong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemunculan varian virus Covid-19 yang diberi nama Omicron mengingatkan kembali pada ketidakpastian ekonomi yang dirasakan dalam pusaran pandemi global. Dalam dua pekan terakhir bursa saham global baik itu di wilayah Eropa dan Amerika Serikat hingga Bursa dalam negeri dan kawasan Asia terpukul akibat sentimen buruk ini.

Meskipun demikian, perusahaan manajemen aset multinasional asal Inggris, Schroders, memperkirakan tahun 2022 akan menjadi tahun yang baik lagi untuk pertumbuhan seiring dengan pemulihan ekonomi global. Namun, Schroders mencatat bahwa pertumbuhan akan melambat tajam setelah 2021, karena dukungan besar-besaran yang ditawarkan oleh pemerintah dan bank sentral selama tahap awal pandemi mulai berkurang atau hilang sama sekali.

Inflasi juga ditaksir akan moderat, tetapi pembuat kebijakan dan investor menghadapi periode yang sulit untuk sementara waktu. Perusahaan multinasional asal Inggris tersebut memperkirakan pertumbuhan PDB global tahun 2021 sebesar 5,6% yang akan diikuti oleh pertumbuhan 4,0% pada tahun 2022, dengan inflasi global sebesar 3,4% untuk tahun 2021 dan meningkat menjadi 3,8% pada tahun 2022.

Dilepasnya dukungan darurat oleh bank sentral dan pemerintah juga memainkan peran penting dalam pembentukan kegiatan ekonomi pada tahun 2022. Kebijakan stimulus fiskal besar-besaran (kebijakan pengeluaran pemerintah dan perpajakan yang dirancang untuk mendukung perekonomian dalam jangka pendek) dalam menanggapi pandemi sudah mereda di AS dan Inggris.

Meskipun pengeluaran pemerintah akan tetap kuat, Schroders mengatakan kebijakan fiskal secara keseluruhan akan kurang mendukung pada tahun 2022.

Di AS, Kesepakatan Infrastruktur Bipartisan akan dimulai tahun depan, sedangkan paket kebijakan Build Back Better yang lebih besar - saat ini telah mendapat persetujuan DPR AS dan sedang menunggu persetujuan Senat - tentu ikut membantu perekonomian. Namun, Schroders menambahkan bahwa dorongan pertumbuhan secara keseluruhan dari kebijakan fiskal akan lebih kecil efeknya dari pada tahun 2021.

Kondisi serupa terjadi di Inggris di mana pajak perusahaan dan pendapatan akan naik tahun depan bersama dengan national insurance contributions (pajak gaji) yang lebih tinggi.

Sebaliknya, di zona euro menonjol karena pengeluaran fiskal diperkirakan akan tetap kuat. Meski angka stimulus sedikit berkurang dibandingkan tahun 2021, tetapi besarannya masih cukup signifikan. Sementara itu, China diperkirakan akan mempertahankan stimulus fiskal pada tahun 2022 melalui pinjaman pemerintah daerah yang lebih tinggi, tetapi beberapa di antaranya akan didorong oleh bank untuk menyalurkan lebih banyak kredit.

Terkait dengan dukungan moneter (kebijakan jangka pendek oleh bank sentral yang dirancang untuk memperkuat ekonomi), The Fed yang merupakan bank sentral AS akan mengakhiri program stimulus terkait pandemi yang telah digunakan untuk menyuntikkan uang langsung ke sistem keuangan (quantitative easing/QE). Bank sentral AS dan Inggris juga diperkirakan siap untuk segera menaikkan suku bunga.

Schroders juga mengharapkan perbedaan kebijakan fiskal antara AS/Inggris dan zona euro/China akan menciptakan peluang di pasar obligasi dan valuta asing.

"Kami juga mencatat banyak ketidakpastian seputar inflasi dan pertumbuhan, paling tidak yang dihasilkan dari kemacetan rantai pasokan dan kekurangan tenaga kerja yang masih ada. Pertumbuhan upah yang lebih tinggi yang mempengaruhi biaya dan harga dapat mengakibatkan inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan dan pertumbuhan yang lebih lemah, dengan risiko terjadinya "stagflasi"," tulis Schroder.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IMF Peringatkan Risiko Inflasi Tinggi, Indonesia Bakal Kena?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular