Pandemi Covid-19 Bikin Utang Negara Berkembang Naik, RI Aman?

Market - Aldo Fernando, CNBC Indonesia
03 December 2021 16:20
Presiden saat berbicara secara virtual pada Sesi Retreat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Europe Meeting (ASEM) ke-13 di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat, 26 November 2021. Doc:  Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden Foto: Foto: Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 yang dimulai sejak tahun lalu turut membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi negara-negara berpendapatan rendah hingga menengah. Salah satu tantangan besar tersebut adalah soal meningkatnya utang publik.

Menurut penjelasan World Bank Group (Bank Dunia) dalam sebuah publikasi berjudul International Debt Statistics 2022, banyak negara berkembang memasuki tahun pagebluk 2020 dalam posisi yang rentan, dengan tingkat utang luar negeri (ULN) yang sudah di level tinggi.

World Bank mencatat, dukungan fiskal untuk memitigasi dampak pandemi mendorong tingkat utang di beberapa negara mencapai rekor tertinggi.

Total utang luar negeri negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tercatat naik, rata-rata 5,3% pada 2020, hampir sama dengan dua tahun sebelumnya atau pra-pandemi.

Memang, sebelum adanya pandemi Covid-19, meningkatnya tingkat utang publik dan meningkatnya kerentanan akibat utang tersebut sudah menjadi perhatian di banyak negara peminjam International Development Association (IDA) termiskin di dunia. Kemudian, hal tersebut semakin memburuk akibat dampak pagebluk.

Melansir website World Bank, pada tahun 1960, IDA didirikan untuk mengurangi kemiskinan dengan memberikan pinjaman tanpa rendah atau zero-to low interest loans (disebut kredit) dan hibah untuk program yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat.

Peningkatan utang negara-negara tersebut akhirnya membuat lembaga multilateral seperti World Bank dan Dana Moneter Internasional (IMF) melancarkan kebijakan inisiatif, yakni dengan peluncuran Debt Service Suspension Initiative (DSSI) oleh negara-negara G-20 pada bulan April 2020 untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam mengatasi dampak pandemi.

Sejak berlaku pada 1 Mei 2020, prakarsa DSSI tersebut telah menyalurkan lebih dari US$ 10,3 miliar bantuan ke lebih dari 40 negara yang memenuhi syarat.

Secara keseluruhan, ada 73 negara yang memenuhi syarat untuk penangguhan sementara pembayaran utang kepada kreditur bilateral resmi mereka. Negara G20 juga telah meminta kreditur swasta untuk berpartisipasi dalam inisiatif tersebut. Adapun masa penangguhan tersebut yang semula ditetapkan berakhir pada 31 Desember 2020, telah diperpanjang hingga Desember 2021.

Sebagai gambaran, pada 2020, utang luar negeri yang ditanggung negara-negara yang memenuhi syarat IDA DSSI rata-rata naik 12%, dengan 9 dari negara-negara ini melonjak lebih 20%.

Menurut data World Bank, kenaikan utang luar negeri tersebut tidak diimbangi dengan produk nasional bruto (PNB atau Gross National Income/GNI) dan pertumbuhan ekspor.

Rasio utang luar negeri terhadap PNB negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah naik menjadi 29% pada tahun 2020 dari posisi 27% pada 2019. Sementara, rasio utang terhadap ekspor melambung menjadi 123% dari 106% di 2019.

Sebagaimana diketahui, semakin tinggi rasio ULN terhadap PNB (atau terhadap produk domestik bruto/PDB), bisa menyebabkan suatu negara semakin kesulitan membayar utangnya dan berisiko gagal bayar alias default hingga membuat kepanikan di pasar keuangan.

Asal tahu saja, berdasarkan data di website World Bank, di antara negara-negara yang masuk daftar DSSI itu, Afghanistan dan Kamerun termasuk di antara 30 negara yang berisiko tinggi mengalami kesulitan utang luar negeri secara keseluruhan. Sementara, mengutip penjelasan Bloomberg, negara macam Grenada, Mozambik, Republik Kongo, dan Somalia sudah mengalami tekanan utang luar negeri.

Melansir Bloomberg, Kamis (2/12), IMF pun memperingatkan "keruntuhan ekonomi" di beberapa negara berpenghasilan rendah kecuali kreditur di negara-negara terkaya di dunia menangguhkan kewajiban pembayaran utang dan membantu menegosiasikan kembali persyaratan baru.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dan Ceyla Pazarbasioglu, Kepala Departemen Strategi & Kebijakan IMF, mengatakan, pada Kamis, sekitar 60% negara termiskin di dunia berisiko tinggi atau sudah berada dalam kesulitan utang luar negeri, dua kali lipat pangsanya pada tahun 2015.

"Kita mungkin melihat keruntuhan ekonomi di beberapa negara kecuali kreditur G-20 setuju untuk mempercepat restrukturisasi utang dan menangguhkan layanan utang sementara restrukturisasi sedang dinegosiasikan," kata pejabat IMF sebagaimana dilansir Bloomberg.


Kemudian, di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, tidak termasuk Cina, rasio utang terhadap PNB naik menjadi rata-rata 42% pada tahun 2020 (dibandingkan 37% pada 2019) dan rasio utang terhadap ekspor juga menjadi rata-rata 154% (dibandingkan 126% pada 2019).Secara lebih luas, nilai utang luar negeri seluruh negara berpendapatan rendah dan menengah 
gabungan pada akhir 2020 mencapai US$ 8,7 triliun. Angka ini naik 5,3% pada 2020, mirip dengan kenaikan pada 2018 dan 2019.

Lalu, bagaimana dengan kondisi utang luar negeri Indonesia?

Cek di halaman selanjutnya >>>>

Begini Kondisi Utang Luar Negeri Indonesia
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :
1 2

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading