Omicron-Fed Jadi Ancaman, Bagaimana Masa Depan Rupiah?
Jakarta, CNBC Indonesia - Start rupiah di bulan Desember kurang bagus, bahkan melihat kondisi eksternal saat ini ada risiko rupiah tenggelam hingga akhir tahun ini. Setidaknya ada dua hal yang bakal memberatkan rupiah, kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) lebih agresif dalam menormalisasi kebijakannya serta virus corona varian Omicron.
Melansir dara Refinitiv, rupiah pada perdagangan Kamis (2/12) melemah 0,24% melawan dolar AS di Rp 14.375/US$. Sementara awal Desember kemarin pelemahan sebesar 0,14%.
Bank sentral AS (The Fed) di bulan lalu resmi mengumumkan akan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya mulai November lalu. Dengan nilai QE sebesar US$ 120 miliar, butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya. Artinya, tapering akan berakhir pada bulan Juni tahun depan.
Pasar masih kalem merespon tapering tersebut, tidak terjadi gejolak di pasar finansial seperti pada tahun 2013, yang disebut taper tantrum. Sebabnya, ketua The Fed, Jerome Powell, sudah memberikan indikasi akan melakukan tapering sejak awal tahun ini, sehingga pasar lebih siap. Rupiah pun masih sempat menguat saat tapering dimulai bulan lalu.
Namun dalam beberapa pekan terakhir banyak pejabat elit The Fed yang mendorong tapering dilakukan lebih cepat guna meredam tingginya inflasi. Dan, Powell di pekan ini mengatakan bisa mempercepat laju tapering.
"Saat ini perekonomian sangat kuat dan inflasi juga sangat tinggi, oleh karena itu menurut pandangan saya akan tepat jika mempertimbangkan menyelesaikan tapering lebih cepat, mungkin beberapa bulan lebih awal," kata Powell di hadapan Senat AS, sebagaimana diwartakan CNBC International, Selasa (30/11).
Powell juga mengatakan akan membahas mengenai percepatan tapering di bulan ini.
"Saya mengharapkan The Fed akan mendiskusikan percepatan tapering pada rapat bulan Desember," tambah Powell.
The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 14 dan 15 Desember waktu setempat. Jika benar tapering dipercepat, ada risiko rupiah akan tertekan.
Namun yang terpenting adalah proyeksi suku bunga The Fed, yang disebut Fed dot plot.
Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dalam dot plot edisi September, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Dot plot tersebut juga bisa menggambarkan seberapa agresif The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan. Semakin agresif, maka rupiah akan semakin terpuruk. Untuk saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali di tahun depan.
Selain The Fed, Omicron juga menjadi ancaman bagi rupiah. Untuk saat ini belum diketahui seberapa besar dampaknya bagi perekonomian. Omicron dikatakan lebih gampang menyebar ketimbang varian delta, dan ada kemungkinan kebal vaksin.
Meski demikian beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, sudah mengatakan tidak akan melakukan lockdown lagi. Perkembangan Omicron bisa menjadi salah satu kunci pergerakan rupiah, jika menyebar dengan cepat dan kebal vaksin, ada risiko lockdown akan kembali diterapkan, perekonomian global melambat, dan rupiah akan tertekan. Sebab, dolar AS yang merupakan mata uang safe haven akan menjadi favorit.
Tetapi, jika Omicron terkendali, rupiah punya peluang menguat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Risiko Rupiah ke Rp 14.600/US$
(pap/pap)