Newsletter

Katalis Positif Terbatas, Jalan Terjal IHSG Happy Ending Nih

Putra, CNBC Indonesia
26 November 2021 05:58
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurangnya katalis positif yang kuat membuat pasar keuangan domestik tak kompak pada perdagangan kemarin, Kamis (25/11). Harga saham menguat, tapi mayoritas harga Surat Berharga Negara (SBN) dan rupiah cenderung melemah.

Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) konsisten bergerak di jalur hijau sepanjang perdagangan kemarin, penguatan indeks cenderung terpangkas di sesi II.

Setelah sempat naik 1% dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa, IHSG harus berakhir dengan penguatan 0,24% ke level 6.699,35.

Setelah menjadi bulan-bulanan pelaku pasar, saham-saham teknologi cenderung naik dan membuat indeks sektoral IDXTECHNO menguat 2,87% kemarin.

Bersama dengan IDXTECHNO, indeks sektoral lain yang mencatatkan apresiasi di antaranya adalah indeks utilitas, industry dan energi yang naik lebih dari 0,5% dan menjadi mover IHSG.

Katalis positifnya masih berasal dari kenaikan harga komoditas. Harga minyak stagnan namun untuk jenis Brent sudah kembali ke atas US$ 80/barel setelah sebelumnya drop signifikan.

Sementara itu harga gas alam dan batu bara memang masih berada jauh di bawah level tertingginya sepanjang masa yang berhasil dicatatkan pada Oktober lalu. Namun harga gas kembali menyentuh US$ 5/mmbtu sedangkan uptren harga batu bara berlanjut.

Kemarin (24/11) harga kontrak batu bara termal acuan global Newcastle melesat 3,67% dan ditutup di US$ 183,5/ton.

Beralih ke pasar obligasi pemerintah, harga mayoritas SBN cenderung melemah yang terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield). Harga obligasi seri acuan untuk tenor 5, 10, 15, 20 dan 25 tahun terpantau melemah.

Kenaikan yield yang paling tinggi dialami oleh seri FR0067 dengan peningkatan imbal hasil sebesar 3,5 basis poin (bps). Sementara itu yield FR0087 yang menjadi seri acuan SBN 10 tahun naik 0,8 bps.

Inflasi di AS yang terus menerus overshoot membuat pelaku pasar mulai cemas bahwa The Fed bakal mempercepat proses tapering. Lebih lanjut, The Fed juga diprediksi bakal lebih agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 3x tahun depan.

Sentimen kebijakan moneter yang lebih hawkish memicu investor melepas aset investasi pendapatan tetap seperti obligasi yang membuat harganya melemah dan yield naik.

Kurangnya katalis positif juga membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Namun koreksi rupiah juga cenderung tipis. Di pasar spot rupiah melemah tipis sebesar 0,07% terhadap greenback dan ditutup di Rp 14.265/US$.

Sementara itu, di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau yang dikenal sebagai kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah dibanderol di Rp 14.280/US$ atau melemah 0,06% dibanding posisi kemarin.

Pasar keuangan AS tutup pada Kamis (25/11) karena memperingati hari Thanksgiving yang jatuh pada Kamis minggu keempat November.

Libur Thanksgiving tidak hanya diperingati di AS saja tetapi juga di Kanada, Granada hingga Liberia. Thanksgiving sejatinya adalah perayaan yang ditujukan untuk mengucap rasa syukur atas apa yang sudah dimiliki dan dicapai.

Biasanya saat perayaan Thanksgiving, orang-orang akan cenderung berkumpul dengan keluarga besar serta memanggang daging kalkun.

Dikarenakan pasar keuangan AS yang tutup, mari tengok pasar finansial Eropa.Indeks saham European Stoxx 600 ditutup menguat 0,44%. Mayoritas bursa saham Benua Biru sukses mengakhiri perdagangan di zona hijau kemarin.

Tiga indeks saham acuan utama Eropa yakni FTSE, CAC dan DAX juga kompak menghijau dengan apresiasi masing-masing 0,33%, 0,48%, dan 0,25% meskipun angka infeksi Covid-19 harian di Eropa masih terus meningkat, tetapi pasar saham ditutup dengan ceria.

Salah satu katalis positifnya adalah regulator Eropa yang memberikan lampu hijau untuk vaksinasi Covid-19 bagi mereka kelompok usia sangat muda di rentang 5-11 tahun.

Dari sisi makro, beberapa rilis data ekonomi menjadi perhatian pelaku pasar. Di Jerman, pertumbuhan ekonominya di kuartal III-2021 mencatatkan ekspansi sebesar 1,7% secara kuartalan (qoq).

Angka pertumbuhan ekonomi Jerman tersebut lebih rendah dari perkiraan konsensus pasar di 2% qoq. Secara tahunan atau year on year (yoy) PDB Jerman masih tumbuh 2,5%.

Inflasi yang tinggi dan kenaikan kasus Covid-19 yang meningkat turut membebani sentimen konsumen. Hal ini tercermin dari survei konsumen GfK Jerman yang drop ke level -1,6 pada bulan November padahal di periode sebelumnya masih berada di teritori positif.

Inflasi memang menjadi permasalahan yang harus ditinjau secara hati-hati. Pejabat bank sentral Uni Eropa (ECB) melihat bahwa inflasi yang meningkat mungkin akan berlangsung lebih lama daripada yang diantisipasi. Namun mereka masih kekeuh bahwa inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat temporer.

Bursa saham Eropa yang ditutup ceria diharapkan bakal menjadi katalis positif untuk pasar keuangan Asia. Soal inflasi yang masih hangat jadi perbincangan juga menuai pro dan kontra bahkan di kalangan para pejabat bank sentral.

Di tengah perdebatan yang terus berlangsung apakah inflasi akan benar-benar berlangsung lama dengan laju yang tinggi sehingga membebani perekonomian, bank sentral Korea (BoK) memilih untuk mengambil langkah antisipatif lebih awal.

Seperti yang sudah diperkirakan oleh pasar, BoK memutuskan untuk menaikkan lagi suku bunga acuan Negeri Ginseng sebesar 25 bps kemarin ke level 1%. Dengan begitu Korea Selatan menjadi negara maju pertama yang paling agresif dalam pengetatan kebijakan moneternya.

Hanya saja hal tersebut sudah diantisipasi oleh pelaku pasar sehingga dampaknya tak terlalu signifikan dalam menggerakkan harga aset keuangan.

Di Indonesia, inflasi masih bukan masalah serius. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan BI (PTBI) yang dihelat kemarin lusa mengatakan bank sentral nasional itu akan tetap fokus pada tujuan untuk menstimulasi perekonomian dengan suku bunga rendah, stabilisasi nilai tukar dan injeksi likuiditas.

BI tak akan terlalu buru-buru untuk menaikkan suku bunga acuan. Sinyal yang disampaikan oleh bos MH Thamrin adalah suku bunga acuan bakal dinaikkan kalau sinyal kenaikan inflasi mulai terlihat.

Di sisi lain BI juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini. Jika sebelumnya PDB Indonesia diperkirakan tumbuh 3,5-4% tahun 2021, proyeksi terbaru BI diturunkan menjadi 3,2-4%.

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu oleh perlambatan ekonomi Indonesia yang meleset dari perkiraan konsensus.

Sebagai informasi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi RI di kuartal III tahun ini hanya tumbuh 3,51% yoy atau lebih rendah dari konsensus yang memperkirakan masih bisa tumbuh di atas 3,6% yoy.

Dari sisi sektoral sentimen datang dari OJK yang menyatakan bahwa banyak investor yang minat untuk mengakuisisi perbankan di RI. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Eksekutif OJK Heru Kristiyana.

Pengembanga bank digital menjadi salah satu story dan agenda yang banyak diperhatikan oleh investor. Bank-bank dengan modal cekak yang siap go digital mayoritas ditutup melemah kemarin.

Namun jelang aksi korporasi yang bakal banyak dilakukan oleh bank-bank mini ini berpeluang untuk mendorong volatilitas harga semakin tinggi.

Overall, katalis positif memang ada tetapi masih minim. Sehingga kemungkinan pasar akan bergerak galau pada perdagangan terakhir pekan ini.


 

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data penjualan ritel Australia bulan Oktober 2021 (07.30 WIB).
  • Rilis data distribusi sepeda motor Indonesia bulan Oktober 2021 (10.30 WIB).
  • Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Prancis bulan November 2021 (14.45 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (Oktober 2021, YoY)

1,66%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,82% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular