Suku Bunga di AS Bisa Naik Lebih Cepat, Rupiah Tak Gentar!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 23/11/2021 15:18 WIB
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kembali dipilihnya Jerome Powell sebagai ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) membuat rupiah kembali melemah pada perdagangan Selasa (23/11). Meski demikian, pelemahanya tidak terlalu besar jika melihat dolar AS yang sedang kuat-kuatnya akibat ekspektasi kenaikan suku bunga lebih cepat. 

Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,04% ke Rp 14.250/US$. Depresiasi kemudian membesar hingga 0,21% ke Rp 14.275/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.255/US$ atau melemah 0,07%.

Presiden AS, Joe Biden, resmi kembali menominasikan Jerome Powell yang masa jabatannya di periode pertama berakhir pada Februari 2022.


Sebelumnya muncul wacana Powell akan diganti, sebab ada beberapa elit Partai Demokrat yang tidak setuju dengan Powell. Wacana tersebut semakin menguat setelah Biden mewawancarai Powell dan calon lainnya Lael Brainard.

Brainard saat ini menjabat Dewan Gubernur The Fed, dan dianggap lebih dovish ketimbang Powell. Seandainya ia yang dipilih, maka pasar melihat suku bunga rendah akan ditahan lebih lama. Brainard dipilih Biden untuk menjadi Wakil Ketua The Fed.

"Nominasi Powell untuk periode kedua mengindikasikan outlook kebijakan moneter tidak akan se-dovish jika Brainard yang dipilih sebagai ketua The Fed," kata Joe Manimbo, analis di Western Union Business Solutions di Washington, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (22/11).

Dengan Powell kini melanjutkan periode kedua kepemimpinannya proyeksi kenaikan suku bunga di semester II-2022 masih berada pada jalurnya, bahkan bisa lebih cepat lagi.

Pasar merespon dipilihnya Powell dengan melepas obligasi AS (Treasury). Alhasil yield Treasury tenor 10 tahun sebesar 8,43 basis poin ke 1,6322%, yang memicu kenaikan indeks dolar AS sebesar 0,5% ke 96,5 yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020.

"Ruang kenaikan suku bunga semakin besar setelah Powell tetap menduduki kursi ketua The Fed dan itu positif bagi dolar AS," tambah Manimbo.

Meski dolar AS sedang kuat-kuatnya, nyatanya pelaku pasar malah mengurangi posisi beli (long) Mata Uang Paman Sam ini.

Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Jumat lalu menunjukkan posisi net long pada pekan yang berakhir 16 November turun menjadi US$ 18,3 miliar, dari pekan sebelumnya US$ 18,75 miliar.

Posisi net long tersebut merupakan dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc, dolar Kanada, dan dolar Australia.

Sementara untuk posisi dolar AS melawan mata uang yang lebih luas posisi net long turun menjadi US$ 17,98 miliar dari sebelumnya US$ 18,58 miliar, dan sudah turun dalam 5 pekan beruntun

Hal tersebut menjadi salah satu alasan rupiah cukup kuat melawan dolar AS meski The Fed sudah melakukan tapering di bulan ini.

Selain itu, fundamental dari dalam negeri juga cukup bagus. Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan intervensi, kemudian defisit transaksi berjalan diperkirakan tidak akan besar, bahkan mencatat surplus di kuartal III-2021.

Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia juga tidak sebesar di 2013, saat ini di kisaran 23%. Sehingga ketika taper tantrum terjadi, capital outflow tidak akan semasif 2013.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pejabat Elit The Fed Ingin Naikkan Suku Bunga Lebih Cepat


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Kesal The Fed Tahan Suku Bunga, Trump Singgung Pemecatan Powell

Pages