
Gara-gara Isu Energi Ramah Lingkungan, Aramco Batal ke India

Jakarta, CNBC Indonesia -Reliance Industries, perusahaan petrokimia India dan Saudi Aramco, raksasa migas milik Kerajaan Saudi memutuskan akan mengevaluasi kembali rencana yang pertama kali dikemukakan lebih dari dua tahun lalu bagi Aramco untuk menginvestasikan US$ 15 miliar atau setara dengan Rp 214,5 triliun (kurs Rp 14.300/US$) ke dalam operasi penyulingan milik konglomerat India tersebut.
Keputusan tersebut datang bertepatan saat Reliance meningkatkan upaya perluasan jangkauan bisnis energi terbarukan di tengah rencana untuk menjadi perusahaan netral karbon pada tahun 2035.
Kedua raksasa itu adalah mitra alami ketika membuat sketsa kesepakatan transaksi tunai pada Agustus 2019 bagi Aramco untuk membeli 20% dari bisnis minyak-ke-kimia (oil-to-chemicals /O2C) Reliance. Kesepakatan tersebut akan menyatukan produsen minyak mentah utama dunia dan salah satu operasi kilang terbesar, yang terletak di Jamnagar, Gujarat.
Ketika harga minyak jatuh di awal pandemi, transaksi yang telah direncanakan tersebut terpaksa terhenti dan saat harga telah pulih pada bulan Februari lalu, bos Reliance Mukesh Ambani siap sedia untuk mengumumkan rencana kompleks Jamnagar-nya untuk menampung fasilitas manufaktur energi terbarukan terintegrasi yang besar.
Fasilitas tersebut menggunakan hidrogen hijau (green hydrogen) untuk menjalankan kilang, yang menjadikan pembuatan O2C menjadi tidak efisien.
"Karena sifat portofolio bisnis Reliance yang terus berkembang, Reliance dan Saudi Aramco telah menentukan secara bersama bahwa akan bermanfaat bagi kedua belah pihak untuk mengevaluasi kembali investasi yang diusulkan dalam bisnis O2C dalam konteks yang berubah. Akibatnya, pengajuan kepada National Company Law Tribunal untuk memisahkan bisnis O2C dari Reliance sedang ditarik," kata Reliance dalam sebuah pernyataan publik yang dirilis pekan lalu.
Meskipun demikian, Reliance juga menyebutkan akan terus menjadi mitra pilihan Saudi Aramco untuk investasi di sektor swasta di India dan akan berkolaborasi dengan Saudi Aramco & SABIC untuk investasi di Arab Saudi.
Selain itu, masuknya Chairman Aramco Yasir Al-Rumayyan ke dewan direksi Reliance menjadi direktur independen perusahaan, menunjukkan bahwa Riyadh akan memiliki keamanan bisnis dan tetap dapat menjual minyak untuk beberapa waktu.
Bagi perusahaan publik terbesar India, gagalnya proyek US$ 75 miliar untuk O2C, tidak memiliki dampak negatif yang signifikan. Reliance telah mengurangi utang dengan hasil dari penjualan saham di unit ritel dan digitalnya.
Terlebih lagi, jika Aramco telah membayar Reliance sebagian dalam bentuk saham, mungkin akan menghalangi investor yang sadar iklim untuk mengakui upaya Ambani yang mengampanyekan bisnis lebih ramah lingkungan.
Reliance juga memiliki cara menarik untuk membiayai US$ 10 miliar dari pengeluaran yang direncanakan untuk energi baru selama tiga tahun ke depan. Perusahaan tidak akan kekurangan pendanaan untuk membiayai proyek tersebut mengingat semakin ramainya investor institusi yang menghentikan pembiayaan di energi fosil dan beralih ke energi yang lebih bersih.
Jumat (19/11) pekan lalu, menyusul kabar batalnya kesepakatan tersebut, Aramco kehilangan sekitar US$ 37 miliar (Rp 529,1 triliun) dalam kapitalisasi pasar.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Melejit, Laba Raksasa Migas Arab Terbang 90%