Analisis

Dear Pangeran MBS, Ekonomi Arab Saudi Mau Dibawa ke Mana?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
26 October 2021 10:15
Soccer Newcastle Takeover
Foto: AP/Jacquelyn Martin

Jakarta, CNBC Indonesia - Arab Saudi, negara eksportir minyak terbesar dunia baru-baru ini menyatakan akan menargetkan netralitas karbon pada tahun 2060.

Kebijakan tersebut membuat negara Timur Tengah ini resmi bergabung dengan lebih dari 100 negara lain untuk melakukan transisi energi bersih demi menekan dampak buruk perubahan iklim.

Putra Mahkota Kerajaan Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mengatakan Arab Saudi akan menginvestasikan lebih dari US$ 180 miliar atau setara dengan Rp 2.574 triliun (kurs Rp 14.300/US$) untuk mencapai tujuan tersebut.

Namun dia mengatakan negara teluk tersebut akan terus memproduksi minyak selama beberapa dekade mendatang. Pengumuman ini datang beberapa hari sebelum KTT perubahan iklim COP26, yang akan digelar mulai akhir pekan ini di Glasgow, Skotlandia.

Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, pada forum tahunan perdana Saudi Green Initiative di Riyadh, bahwa penggunaan energi terbarukan dan penangkapan karbon termasuk dalam 60 proyek yang akan dikembangkan Arab Saudi untuk membantu mencapai target tersebut.

Target yang dicanangkan tersebut mengacu pada emisi yang dihasilkan di dalam negeri dan tidak berlaku untuk hidrokarbon yang diekspor dan dibakar di tempat lain.

Ini merupakan indikasi bahwa Arab Saudi tidak akan secara drastis memperlambat investasi minyak dan gas atau melepaskan kendali pasar energi dengan menjauhkan diri dari produksi bahan bakar fosil.

Ekspor energi merupakan tulang punggung ekonomi Arab Saudi, meskipun ada upaya untuk mendiversifikasi pendapatan karena dunia semakin berupaya untuk beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Tahun ini, Arab Saudi diperkirakan menghasilkan US$ 150 miliar atau setara Rp 2.145 triliun dari minyak.

Arab Saudi saat ini juga merupakan penghasil emisi karbon per kapita terbesar kelima di dunia dengan total emisi 14,59 mt/tahun, menurut S&P Global Platts Atlas of Energy Transition.

Sementara itu, perusahaan minyak raksasa Saudi Aramco, bersama dengan anak perusahaannya Sabic Petrochemicals, menetapkan target lebih awal pada tahun 2050.

Langkah ini juga sejalan dengan kebijakan yang sebelumnya telah diambil oleh perusahaan raksasa migas lain seperti BP, Shell, Total, Repsol hingga Equinor.

"Sebagai penyedia energi terbesar di dunia, ambisi Aramco untuk mencapai nol emisi gas rumah kaca di seluruh operasi kami dalam waktu kurang dari tiga dekade adalah langkah maju bersejarah yang akan membantu mengatasi tantangan paling mendesak yang dihadapi umat manusia," CEO Aramco Amin Nasser dalam keterangan resminya.

Target jangka menengah Arab Saudi adalah untuk mengurangi emisi karbon lebih dari 278 mt/tahun pada tahun 2030, lebih dari dua kali lipat target yang ditetapkan awal tahun ini, menurut pernyataan pemerintah.

Kerajaan juga akan bergabung dengan Global Methane Pledge untuk mengurangi emisi metana global sebesar 30% pada tahun 2030.

Rencana Arab Saudi datang tidak lama setelah pengumuman Uni Emirat Arab (UEA) pada 7 Oktober yang menargetkan netralitas karbon pada tahun 2050 dan menjadi negara pertama di Timur Tengah dan Afrika Utara yang menetapkan tujuan ini.

Kerajaan yang dipimpin Raja Salman tersebut kini bergabung dengan negara seperti Rusia dan China yang juga menargetkan netralitas karbon pada tahun 2060. Amerika Serikat, Uni Eropa dan sebagian besar negara maju lainnya menargetkan tahun 2050.

Sedangkan Indonesia tertinggal 10 tahun di belakang China dan Arab Saudi yang menargetkan kondisi tersebut tercapai setengah abad lagi atau pada tahun 2070.

NEXT: Nasib Arab Saudi Pascaminyak

Sebelum penemuan minyak, sebagian besar masyarakat Arab Saudi hidup nomaden dengan roda perekonomian sebagian besar digerakkan oleh pendapatan pariwisata dari kunjungan penduduk Muslim ke tanah suci Mekah untuk melakukan ibadah Haji dan Umrah.

Akan tetapi setelah penemuan emas hitam tersebut oleh Standard Oil Co. of California (kelak menjadi Chevron), Saudi secara cepat membangun infrastruktur industri migas yang dipenuhi dengan sumur, jaringan pipa, kilang, dan pelabuhan.

Konsesi minyak tersebut diberikan oleh Abdulaziz bin Abdul Rahman Al Saud (Ibn Saud), beberapa bulan setelah ia mempersatukan dan diproklamasikan sebagai raja di wilayah tersebut.

Selain pendapatan berlimpah, perdagangan minyak bumi juga memupuk hubungan diplomatik yang menarik antara Arab Saudi dan negara Barat, serta Jepang, Cina, hingga negara di kawasan Asia Tenggara.

Sebagian besar negara industri bergantung pada impor minyak bumi yang pada bagiannya memungkinkan Arab Saudi untuk memiliki peran besar dalam beberapa keputusan kebijakan luar negeri, terutama di sekitar Timur Tengah.

Penemuan minyak juga mengubah demografi kerajaan. Saat ini, jutaan pekerja asing dari berbagai belahan dunia tinggal dan bekerja di Arab Saudi.

Meski minyak telah lama membawa kemakmuran, Kerajaan Saudi juga menyadari bahwa mereka tidak bisa bergantung 100% dan selamanya terhadap minyak, dan mulai mencari peluang lain.

Jatuhnya harga minyak mentah yang dimulai pada tahun 2014 telah membuat Arab Saudi mengalami defisit anggaran yang cukup parah.

Belum lagi tahun 2020 lalu ketika harga minyak sempat menyentuh level negatif, tentu juga merupakan pukulan bagi Arab Saudi apalagi kunjungan Haji dan Umrah tahun itu juga ikut dibatalkan.

Dan, walaupun harga minyak telah pulih, kebijakan iklim menjadikan kiamat energi hidrokarbon kian dekat dengan banyak ilmuwan dan analis telah memperkirakan skenario pendekatan "permintaan puncak" yang kelak akan menandai akhir dari konsumsi minyak global sudah di depan mata.

Sebelumnya, 5 tahun lalu MBS mengumumkan Saudi Vision 2030 dalam rangka diversifikasi ekonomi serta mendorong bisnis swasta baru, meningkatkan pendidikan dan memangkas defisit anggaran dengan memotong subsidi dan memberlakukan pajak pertambahan nilai 5 persen.

Walaupun pemerintah Arab Saudi menargetkan diversifikasi ekonomi serta target netralitas karbon, hal ini tidak serta merta membuat mereka menyerah begitu saja terhadap energi fosil, mengingat bahwa transisi energi yang cepat sekalipun tidak akan membuat konsumsi minyak bumi musnah begitu saja pada tahun 2050 ini.

Laporan tahun 2019 dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menguraikan dari berbagai jalur yang tersedia untuk mencapai target kebijakan iklim, salah satu jalur tersebut adalah penurunan permintaan energi untuk minyak mentah ke kisaran 11 juta hingga 57 juta barel per hari pada 2050.

Arab Saudi saat ini memproduksi 8 juta barel per hari dan dengan rekor biaya produksi terendah hanya $2,80 per barel, yang berarti negara teluk tersebut kemungkinan akan menjadi salah satu produsen terakhir yang mengeksploitasi industri migas.

Selain itu, perlu diingat tidak semua minyak digunakan untuk energi. Sekitar 10% dari produksi minyak bumi dunia - hampir 10 juta barel per hari - digunakan untuk produk yang tidak dibakar seperti plastik, aspal, pelumas, bahan kimia, dan pupuk.

NEXT: Tantangan dan Peluang Arab Saudi Hadapi Krisis Iklim

Lantas bagaimana dengan tantangan dan peluang Saudi menghadapi krisis iklim saat ini?

Terkait dengan iklim, Bloomberg memperkirakan bahwa rencana sejumlah negara dalam mengurangi emisi (termasuk Arab Saudi) yang cukup ambisius sekalipun masih belum bisa menghilangkan permintaan akan minyak bumi - walaupun penurunannya dapat terjadi secara drastis.

Beragam skenario akan masa depan minyak (Sumber: Bloomberg)Foto: Bloomberg
Beragam skenario akan masa depan minyak (Sumber: Bloomberg)

Jika permintaan minyak turun dan dunia akhirnya mampu menghilangkan sejumlah besar karbon dari atmosfer, ada peran potensial lain bagi Arab Saudi.

Penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS), yang sejauh ini memang masih belum benar-benar berhasil dan sebagian besar masih berupa proyek percontohan dengan kelayakan yang juga masih dipertanyakan.

Meskipun demikian, jika teknologi dapat dibuat untuk bekerja, itu bisa memberikan kehidupan baru bagi ladang minyak kerajaan.

CCS terdekat yang digunakan secara komersial di dunia saat ini adalah dalam peningkatan perolehan minyak, di mana gas dipompa ke sumur tua untuk membantu mendorong lebih banyak minyak mentah ke permukaan. Salah satu situs terbesar yang saat ini beroperasi adalah di ladang Ghawar raksasa Arab Saudi.

Potensi ini belum diselidiki dengan baik dan belum terdapat angka yang rinci terkait manfaat yang bisa dihasilkan.

Selain CCS, Arab Saudi juga merupakan salah satu wilayah dengan potensi terbaik dunia untuk tenaga surya, akan tetapi potensi tersebut hampir tidak dimanfaatkan sama sekali.

Selain itu Arab Saudi melalui Visi 2030 tentu juga akan memperkuat perekonomian di sektor lain seperti pariwisata yang merupakan sektor dengan penghasilan terbesar kedua.

Investasi dana abadi (sovereign wealth fund) yang dilakukan secara profesional dan efektif juga tentu dapat membantu perekonomian apabila 'kiamat energi fosil' datang dalam waktu yang lebih cepat dari perkiraan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular