
Dear Pangeran MBS, Ekonomi Arab Saudi Mau Dibawa ke Mana?

Sebelum penemuan minyak, sebagian besar masyarakat Arab Saudi hidup nomaden dengan roda perekonomian sebagian besar digerakkan oleh pendapatan pariwisata dari kunjungan penduduk Muslim ke tanah suci Mekah untuk melakukan ibadah Haji dan Umrah.
Akan tetapi setelah penemuan emas hitam tersebut oleh Standard Oil Co. of California (kelak menjadi Chevron), Saudi secara cepat membangun infrastruktur industri migas yang dipenuhi dengan sumur, jaringan pipa, kilang, dan pelabuhan.
Konsesi minyak tersebut diberikan oleh Abdulaziz bin Abdul Rahman Al Saud (Ibn Saud), beberapa bulan setelah ia mempersatukan dan diproklamasikan sebagai raja di wilayah tersebut.
Selain pendapatan berlimpah, perdagangan minyak bumi juga memupuk hubungan diplomatik yang menarik antara Arab Saudi dan negara Barat, serta Jepang, Cina, hingga negara di kawasan Asia Tenggara.
Sebagian besar negara industri bergantung pada impor minyak bumi yang pada bagiannya memungkinkan Arab Saudi untuk memiliki peran besar dalam beberapa keputusan kebijakan luar negeri, terutama di sekitar Timur Tengah.
Penemuan minyak juga mengubah demografi kerajaan. Saat ini, jutaan pekerja asing dari berbagai belahan dunia tinggal dan bekerja di Arab Saudi.
Meski minyak telah lama membawa kemakmuran, Kerajaan Saudi juga menyadari bahwa mereka tidak bisa bergantung 100% dan selamanya terhadap minyak, dan mulai mencari peluang lain.
Jatuhnya harga minyak mentah yang dimulai pada tahun 2014 telah membuat Arab Saudi mengalami defisit anggaran yang cukup parah.
Belum lagi tahun 2020 lalu ketika harga minyak sempat menyentuh level negatif, tentu juga merupakan pukulan bagi Arab Saudi apalagi kunjungan Haji dan Umrah tahun itu juga ikut dibatalkan.
Dan, walaupun harga minyak telah pulih, kebijakan iklim menjadikan kiamat energi hidrokarbon kian dekat dengan banyak ilmuwan dan analis telah memperkirakan skenario pendekatan "permintaan puncak" yang kelak akan menandai akhir dari konsumsi minyak global sudah di depan mata.
Sebelumnya, 5 tahun lalu MBS mengumumkan Saudi Vision 2030 dalam rangka diversifikasi ekonomi serta mendorong bisnis swasta baru, meningkatkan pendidikan dan memangkas defisit anggaran dengan memotong subsidi dan memberlakukan pajak pertambahan nilai 5 persen.
Walaupun pemerintah Arab Saudi menargetkan diversifikasi ekonomi serta target netralitas karbon, hal ini tidak serta merta membuat mereka menyerah begitu saja terhadap energi fosil, mengingat bahwa transisi energi yang cepat sekalipun tidak akan membuat konsumsi minyak bumi musnah begitu saja pada tahun 2050 ini.
Laporan tahun 2019 dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menguraikan dari berbagai jalur yang tersedia untuk mencapai target kebijakan iklim, salah satu jalur tersebut adalah penurunan permintaan energi untuk minyak mentah ke kisaran 11 juta hingga 57 juta barel per hari pada 2050.
Arab Saudi saat ini memproduksi 8 juta barel per hari dan dengan rekor biaya produksi terendah hanya $2,80 per barel, yang berarti negara teluk tersebut kemungkinan akan menjadi salah satu produsen terakhir yang mengeksploitasi industri migas.
Selain itu, perlu diingat tidak semua minyak digunakan untuk energi. Sekitar 10% dari produksi minyak bumi dunia - hampir 10 juta barel per hari - digunakan untuk produk yang tidak dibakar seperti plastik, aspal, pelumas, bahan kimia, dan pupuk.
NEXT: Tantangan dan Peluang Arab Saudi Hadapi Krisis Iklim
