Jakarta, CNBC Indonesia - Taji saham-saham emiten batu bara tampaknya mulai luntur akhir-akhir ini. Pada penutupan perdagangan Senin kemarin (15/11), saham-saham batu bara utama atau big cap (berkapitalisasi pasar besar) ramai-ramai ambles ke zona merah di tengah kabar dari hasil konferensi iklim baru-baru yang mengindikasikan masa depan suram bagi sektor batu bara.
Di samping itu, faktor lainnya yang juga mungkin berpengaruh terhadap koreksi saham batu bara saat ini adalah karena para investor terus merealisasikan aksi ambil untung lantaran saham batu bara sudah melonjak tinggi sepanjang tahun ini.
Di tengah kepungan sentimen negatif saat ini, mulai dari target negara-negara untuk mengurangi emisi karbon global hingga bank-bank yang berkomitmen mulai menghentikan pendanaan batu bara, bagaimana prospek saham emiten batu bara ke depan?
Apabila menilik data historis, kinerja saham batu bara memang loyo setidaknya dalam sebulan terakhir. (Lihat tabel di bawah).
Kinerja Sejumlah Saham-Saham Batu Bara Utama
Kode Ticker | Harga Terakhir | % Harian | % Sebulan | % Year to Date (Ytd) |
ITMG | 19325 | -6.98 | -25.67 | 39.53 |
INDY | 1615 | -6.92 | -29.17 | -6.65 |
ABMM | 1430 | -5.92 | -4.67 | 88.16 |
BUMI | 66 | -5.71 | -24.14 | -8.33 |
PTBA | 2510 | -5.64 | -11.31 | -10.68 |
GEMS | 4050 | -5.15 | -5.15 | 58.82 |
ADRO | 1610 | -4.45 | -13.14 | 12.59 |
HRUM | 7775 | -3.12 | -4.89 | 160.91 |
DOID | 292 | -2.67 | -12.57 | -17.05 |
UNTR | 22275 | -2.3 | -12.65 | -16.26 |
BYAN | 25925 | -0.29 | -8.55 | 67.53 |
Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI) | Harga terakhir per 15 November 2021
Saham PT Indika Energy Tbk (INDY), misalnya, ambles 29,17% dalam sebulan, tertinggi di antara saham batu bara big cap lainnya. Seiring dengan tren penurunan yang terjadi, saham INDY pun minus 6,65% sejak awal tahun ini (year to date/ytd). Sebelum menyentuh harga Rp 1.615/saham saat ini, saham INDY sempat menembus Rp 2.330/saham pada pertengahan Oktober lalu.
Kemudian, saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) juga anjlok 25,67% dalam sebulan. Namun, secara ytd, saham ini masih melonjak 39,53%.
Di tengah semen batu bara yang terus melorot, harga batu bara sendiri terus mengalami penurunan, setelah melonjak tinggi sepanjang tahun. Kemarin, kontrak berjangka batu bara Newcastle turun 1,02% ke US$ 145,75/ton, di tengah produksi batu bara China bulan Oktober naik ke level tertinggi sejak Maret 2015.
Ini menandai tren penurunan selama 5 hari beruntun.
Dalam sebulan, harga batu bara anjlok 39,61%. Namun, secara ytd harga si batu hitam masih melonjak 78,29%.
Sebagai informasi, produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia tersebut menghasilkan 357,09 juta ton pada bulan Oktober, naik 6,88% dari September, menurut data dari Biro Statistik Nasional.
Jumlah produksi selama 10 bulan pertama tahun 2021 sebesar 3,3 miliar ton, naik 4% (year-on-year/yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu.
Tingginya produksi batu bara China adalah hasil dari langkah Beijing yang menyetujui ekspansi di lebih dari 153 tambang batu bara. Ekspansi tersebut agar dapat menambah 55 juta ton produksi batu bara pada kuartal keempat.
Pemerintah pusat China berusaha untuk mengakhiri kekurangan listrik dengan memasok lebih banyak batu bara. Langkah lainnya adalah mendesak pemerintah daerah untuk membuka kembali tambang yang ditutup karena permasalahan izin setelah memperbaiki masalah.
Meskipun masa depan batu bara tampak muram, tetapi dalam jangka pendek ada sejumlah sentimen positif yang bisa mendorong kinerja saham emiten batu bara.
Pertama, soal frasa "mengurangi" secara bertahap penggunaan batu bara di tengah keputusan konferensi iklim di Glasgow.
Sebelumnya, kendati menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim UN Climate Change Conference of the Parties (COP) ke 26 di Glasgow berhasil membuat 197 negara menyepakati aturan baru tentang pembatasan emisi gas rumah kaca. Namun, permintaan India dan China untuk 'keringanan' produksi batu bara dikabulkan.
Duet India dan China berhasil merubah komitmen "menghapus" batu bara menjadi mengurangi "penggunaan" batu bara secara bertahap untuk energi. Artinya batu bara masih bisa digunakan, di mana negara-negara hanya wajib mengurangi tidak menghilangkannya selama-lamanya.
Direktur dan Sekretaris PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava pun menanggapi soal dampak langsung konferensi COP 26 tersebut.
Dileep menjelaskan, dalam situasi saat ini, jika pasar diminta untuk menjauhi batu bara sebagaimana dalam komitmen internasional saat ini, maka pasar perlu diberikan pengganti yang andal dan terjangkau atau sebaliknya akan ada konsekuensi ekonomi nyata bagi bisnis dan rumah tangga.
Ini karena, ujar Dileep, "konsumsi batu bara sangat tergantung pada kekuaran permintaan pasar, kebutuhan sumber energi untuk pemulihan ekonomi dan untuk menggerakkan ekonomi".
"Pengembangan energi terbarukan sebagai substitusi batu bara baik dari segi biaya maupun kehandalan teknologi masih membutuhkan waktu, itulah alasan utama mengapa susunan kata dalam COP26 adalah phase down (mengurangi) bukan phase out (menghapuskan/meninggalkan), ini merupakan ekspresi dari kondisi realistis bahwa transisi energi dunia sedang menghadapi," kata Dileep dalam keterangannya, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (16/11).
Dileep menambahkan, tidak akan ada cukup kapasitas energi terbarukan untuk mengalirkan listrik ke sekolah, rumah, dan bisnis kita di masa mendatang.
Solusi stop-gap, jelasnya, akan mencakup penerapan pemanfaatan batubara yang lebih bersih di pembangkit listrik yang melibatkan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS).
Kedua, secara jangka pendek hingga menengah, dampak hasil konferensi iklim tersebut, termasuk soal target pemerintah mengurangi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebesar 5,52 Giga Watt (GW) sampai dengan 2030 mendatang, tidaklah langsung.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, pada 8 November 2021, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan masih optimistis emiten-emiten batu bara akan tetap diminati mengingat kebutuhan energi fosil masih dibutuhkan untuk jangka pendek.
Dileep pun juga mengatakan, agenda COP 26 bersifat futuristik atau berkaitan dengan proyeksi masa depan, yang membutuhkan keseimbangan prioritas negara maju dan berkembang termasuk Indonesia.
"[S]ehingga meskipun kesepakatan [COP 26] di menit terakhir yang dinegosiasikan disambut baik, itu membutuhkan lebih banyak pekerjaan dan diskusi yang intens, terutama pendanaan besar-besaran untuk membuatnya bekerja untuk kita semua. Tapi secara keseluruhan perkembangannya bisa dikategorikan positif," kata Dileep.
Ketiga, soal upaya hilirisasi dan ekspansi bisnis menjadi upaya emiten sektor pertambangan batu bara untuk menyesuaikan sumber pendapatan ke arah energi bersih.
Manajemen BUMI menjelaskan, pihaknya akan mendukung kebijakan pemerintah terkait transisi energi ke depan. "Kami juga telah berpartisipasi dalam proyek gasifikasi Batubara dan mempertimbangkan proyek hilirisasi batubara lainnya," ujar Dileep.
Mengenai strategi perusahaan ke depan dan ceruk pasar potensial, Dileep menjelaskan, BUMI memiliki keunggulan dalam biaya produksi yang rendah dan lokasi geografis yang dekat dengan pasar utama seperti Cina, negara-negara Asia Tenggara dan Jepang.
"Kami tidak sedang membutuhkan pengeluaran modal yang besar, sehingga strategi pengendalian biaya perusahaan akan berjalan dengan baik, dan kami menjaga hubungan baik dengan pelanggan kami," imbuhnya.
Selain BUMI, emiten batu bara lainnya PT Indika Energy Tbk (INDY) juga memastikan komitmennya untuk mendorong pencapaian net zero emission Indonesia di tahun 2040. Langkah ini dilaksanakan lewat upaya dekarbonisasi diseluruh operasional Indika Energy Group.
"Kita mengintensifikasikan kegiatan-kegiatan dekarbonisasi kita di seluruh operasional di aset-aset yang berada di portofolio Indika Energy," jelas CEO Indika Energy Azis Armand dalam program Closing Bell, CNBC Indonesia (Jumat, 12/11/2021).
Azis Armand juga menyebutkan langkah diversifikasi usaha ke sektor non batu bara serta mendivestasikan aset terkait batu bara menjadi strategi bisnis INDY kedepannya.
Singkatnya, batu bara masih jadi sumber energi yang berperan penting dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan energi. Terlebih lagi pemulihan ekonomi dunia saat ini mendorong permintaan batu bara lebih tinggi dari sebelumnya.
Menurut data dari organisasi nirlaba AS Global Pemantau Energi (GEM), sebanyak hampir 200 pembangkit listrik batu bara sedang dibangun saat ini. Itu termasuk 95 di China dan 28 di India.
Akan tetapi, permintaan ini diyakini sejumlah lembaga akan terus terkikis dalam jangka panjang seiring pelaksanaan komitmen negara-negara dalam mencapai nol emisi (net-zero emission). Agensi Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan batu bara akan turun 90% pada 2050 dalam skenario komitmen negara mencapai net-zero emission akan tercapai.
Peran batu bara untuk pembangkit listrik akan mencapai titik di bawah 1% pada tahun 2050. Saat ini di 2020, porsinya 35%.
Meski demikian, faktanya, transisi ke energi terbarukan dari bahan bakar fosil diperkirakan membutuhkan dana investasi mahal. Butuh US$ 800-US$ 820 miliar per tahun di tahun 2030-2050.
Angka tersebut naik hampir tiga kali lipat dari investasi EBY tahun 2020 sekitar US$ 280 miliar per tahun. Negara berkembang jadi yang terdampak dari proyek ini karena penghasilan dari komoditas dan juga keterbatasan dana untuk investasi di tengah ekonomi yang lesu.
Perjanjian yang disepakati di COP26 mengatur dukungan secara signifikan untuk negara berkembang, melebihi US$ 100 miliar per tahun yang berasal dari dompet negara maju hingga 2025.
Namun komitmen dukungan kepada negara berkembang tampaknya tidak akan mudah. AS, Jepang, Norwegia, Swedia, dan lainnya menilai dukungan US$100 miliar masih sulit dan kemungkinan tidak akan tercapai hingga 2022 atau 2023.
TIM RISET CNBC INDONESIA