
Saham Batu Bara di Ujung Tanduk, Waspada Bisa Boncos

Meskipun masa depan batu bara tampak muram, tetapi dalam jangka pendek ada sejumlah sentimen positif yang bisa mendorong kinerja saham emiten batu bara.
Pertama, soal frasa "mengurangi" secara bertahap penggunaan batu bara di tengah keputusan konferensi iklim di Glasgow.
Sebelumnya, kendati menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim UN Climate Change Conference of the Parties (COP) ke 26 di Glasgow berhasil membuat 197 negara menyepakati aturan baru tentang pembatasan emisi gas rumah kaca. Namun, permintaan India dan China untuk 'keringanan' produksi batu bara dikabulkan.
Duet India dan China berhasil merubah komitmen "menghapus" batu bara menjadi mengurangi "penggunaan" batu bara secara bertahap untuk energi. Artinya batu bara masih bisa digunakan, di mana negara-negara hanya wajib mengurangi tidak menghilangkannya selama-lamanya.
Direktur dan Sekretaris PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava pun menanggapi soal dampak langsung konferensi COP 26 tersebut.
Dileep menjelaskan, dalam situasi saat ini, jika pasar diminta untuk menjauhi batu bara sebagaimana dalam komitmen internasional saat ini, maka pasar perlu diberikan pengganti yang andal dan terjangkau atau sebaliknya akan ada konsekuensi ekonomi nyata bagi bisnis dan rumah tangga.
Ini karena, ujar Dileep, "konsumsi batu bara sangat tergantung pada kekuaran permintaan pasar, kebutuhan sumber energi untuk pemulihan ekonomi dan untuk menggerakkan ekonomi".
"Pengembangan energi terbarukan sebagai substitusi batu bara baik dari segi biaya maupun kehandalan teknologi masih membutuhkan waktu, itulah alasan utama mengapa susunan kata dalam COP26 adalah phase down (mengurangi) bukan phase out (menghapuskan/meninggalkan), ini merupakan ekspresi dari kondisi realistis bahwa transisi energi dunia sedang menghadapi," kata Dileep dalam keterangannya, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (16/11).
Dileep menambahkan, tidak akan ada cukup kapasitas energi terbarukan untuk mengalirkan listrik ke sekolah, rumah, dan bisnis kita di masa mendatang.
Solusi stop-gap, jelasnya, akan mencakup penerapan pemanfaatan batubara yang lebih bersih di pembangkit listrik yang melibatkan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS).
Kedua, secara jangka pendek hingga menengah, dampak hasil konferensi iklim tersebut, termasuk soal target pemerintah mengurangi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebesar 5,52 Giga Watt (GW) sampai dengan 2030 mendatang, tidaklah langsung.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, pada 8 November 2021, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan masih optimistis emiten-emiten batu bara akan tetap diminati mengingat kebutuhan energi fosil masih dibutuhkan untuk jangka pendek.
Dileep pun juga mengatakan, agenda COP 26 bersifat futuristik atau berkaitan dengan proyeksi masa depan, yang membutuhkan keseimbangan prioritas negara maju dan berkembang termasuk Indonesia.
"[S]ehingga meskipun kesepakatan [COP 26] di menit terakhir yang dinegosiasikan disambut baik, itu membutuhkan lebih banyak pekerjaan dan diskusi yang intens, terutama pendanaan besar-besaran untuk membuatnya bekerja untuk kita semua. Tapi secara keseluruhan perkembangannya bisa dikategorikan positif," kata Dileep.
Ketiga, soal upaya hilirisasi dan ekspansi bisnis menjadi upaya emiten sektor pertambangan batu bara untuk menyesuaikan sumber pendapatan ke arah energi bersih.
Manajemen BUMI menjelaskan, pihaknya akan mendukung kebijakan pemerintah terkait transisi energi ke depan. "Kami juga telah berpartisipasi dalam proyek gasifikasi Batubara dan mempertimbangkan proyek hilirisasi batubara lainnya," ujar Dileep.
Mengenai strategi perusahaan ke depan dan ceruk pasar potensial, Dileep menjelaskan, BUMI memiliki keunggulan dalam biaya produksi yang rendah dan lokasi geografis yang dekat dengan pasar utama seperti Cina, negara-negara Asia Tenggara dan Jepang.
"Kami tidak sedang membutuhkan pengeluaran modal yang besar, sehingga strategi pengendalian biaya perusahaan akan berjalan dengan baik, dan kami menjaga hubungan baik dengan pelanggan kami," imbuhnya.
Selain BUMI, emiten batu bara lainnya PT Indika Energy Tbk (INDY) juga memastikan komitmennya untuk mendorong pencapaian net zero emission Indonesia di tahun 2040. Langkah ini dilaksanakan lewat upaya dekarbonisasi diseluruh operasional Indika Energy Group.
"Kita mengintensifikasikan kegiatan-kegiatan dekarbonisasi kita di seluruh operasional di aset-aset yang berada di portofolio Indika Energy," jelas CEO Indika Energy Azis Armand dalam program Closing Bell, CNBC Indonesia (Jumat, 12/11/2021).
Azis Armand juga menyebutkan langkah diversifikasi usaha ke sektor non batu bara serta mendivestasikan aset terkait batu bara menjadi strategi bisnis INDY kedepannya.
(adf/adf)